REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya mendorong kewajiban penggunaan rupiah dalam setiap transaksi di seluruh Indonesia baik tunai maupun non tunai terus dilakukan Bank Indonesia (BI). Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI Eko Yulianto mengatakan kasus Sipadan dan Ligitan semestinya menjadi pelajaran besar bagi bangsa ini agar jangan sampai hal serupa terjadi pada wilayah-wilayah lain di Indonesia.
"Sipadan dan Ligitan lepas karena banyak yang menggunakan Ringgit. Jika di Batam banyak yang menggunakan Dolar Singapura, tentu perlu dikhawatirkan," ujarnya dalam acara Pelatihan Wartawan Ekonomi, di Sheraton Bandung Hotel & Towers, Jalan Ir. H. Juanda, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (9/5).
Ia menambahkan, saat ini ada indikasi transaksi valas antar penduduk (LLD) terus meningkat. Ia mencontohkan, banyak masyarakat yang membeli komputer di Mangga Dua, Jakarta dengan mata uang asing. Selain itu, transaksi antar residen dalam valas seperti yang terjadi antara Pertamina yang menagih PGN dalam valas juga menjadi contoh lain. Transaksi valas antar residen, lanjutnya, juga terjadi pada transaksi antar bank, korporasi, nasabah, non residen, dan all counterpart.
"Terdapat tren peningkatan antar residen. Ketidakseimbangan supply dan demand memberikan tekanan pada nilai tukar," lanjut Eko.
Ia menambahkan, jika terus meningkat akan berdampak pada keadaan nilai tukar rupiah dan inflasi akan tertekan. Untuk itu, BI terus mendorong penggunaan rupiah dalam setiap transaksi di seluruh wilayah Indonesia baik tunai maupun non tunai.
"Kemenkeu (Kementerian Keuangan) selalu mengatakan bahwa rupiah adalah simbol kedaulatan negara dimana belanja dengan dolar sama saja dengan merendahkan rupiah," tegasnya.