REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemindahan lokasi Pelabuhan Cilamaya sejauh tiga kilo meter dinilai tidak efektif. Jika pembangunan pelabuhan dipaksakan di Karawang, maka negara tak bisa melakukan eksplorasi secara menyeluruh kandungan migas di wilayah tersebut.
Menurut Vice President Indonesian Petroleum Association (IPA), Sammy Hamzah, untuk melakukan eksplorasi di suatu wilayah, maka tidak boleh ada proyek lain dengan aktifitas padat di lokasi tersebut. Seperti kasus Cilamaya, kata dia, untuk melakukan eksplorasi di wilayah tersebut, maka pemerintah tidak boleh mambangun pelabuhan.
Jika dipaksakan bangun pelabuhan, maka akan sangat berbahaya. “Jangankan pelabuhan, ketika melakukan eksplorasi, satu rumah sederhanapun tidak boleh ada,” kata dia, Rabu (17/9)
Sammy mengingatkan, kalau pemerintah memaksa untuk membangun pelabuhan Cilamaya, maka potensi kerugian yang akan dialami pemerintah relatif besar. Sebab, Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) yang berlokasi di Pelabuhan Cilamaya, Karawang Karawang, Jawa Barat, terancam ditutup. Jika Blok ONWJ ditutup, negara berpotensi kehilangan pendapatan Rp 20 triliun per tahun.
Perhitungan itu menggunakan asumsi produksi ONWJ sekitar 40 ribu barel per hari (bph) dan harga minyak dunia 100 dolar AS per barel. ONWJ merupakan tulang punggung untuk mendongkrak produksi migas Pertamina dalam 30 tahun ke depan.
Selain ONWJ, lapangan yang dikelola Pertamina EP yang juga berlokasi tidak jauh dari Cilamaya juga menjadi backbone Pertamina. Bisa dibayangkan, betapa besar pengrobanan dari hilangnya potensi pendapat negara akibat pembangunan Pelabuhan yang memprioritaskan investor Jepang itu.