REPUBLIKA.CO.ID, JEPARA -- Wakil Duta Besar Uni-Eropa untuk Indonesia, Brunei Darussalam dan ASEAN Colin Crooks mengemukakan bahwa Indonesia berpeluang besar menjadi negara pertama yang bisa mengirimkan kayu berlisensi 'Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT)' ke Uni Eropa.
"Jika demikian, Indonesia akan menikmati keuntungan besar di pasar global, baik di Uni Eropa, maupun negara-negara yang lain, seperti Australia, yang sudah mengikuti model FLEGT dari Uni Eropa," katanya di Jepara, Jawa Tengah, Selasa (21/1) malam.
Dalam diskusi dengan tema "Legalitas Perdagangan Produk Kayu Indonesia" pada kunjungan media selama dua hari (21-22/1) ke Usaha Kecil Menengah (UKM) di Jepara atas kerja sama 'Global Forest & Trade Network (GFTN)' WWF-Indonesia, Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), dan didukung Uni Eropa, ia mengulas latar belakang keterlibatan blok itu dalam perdagangan kayu legal.
Ia menjelaskan 10 tahun lalu ada persoalan serius yang dihadapi di mana Uni Eropa masih mengimpor banyak kayu ilegal, salah satunya berasal dari Indonesia, yang pada saat itu banyak mengekspor kayu ilegal.
Namun kedua belah pihak menyadari situasi ini dan bersama-sama mencoba mengatasinya, kata dia.
Uni Eropa merespons tuntutan publik akan pentingnya keberlanjutan dan legalitas melalui Rencana Aksi FLEGT dan juga European Union Timber Regulation (EUTR), yang mengatur agar hanya kayu hasil penebangan legal yang bisa diimpor ke pasar Uni Eropa.
Sedangkan pemerintah Indonesia, kata dia, memiliki visi dalam merespons masalah legalitas kayu untuk pasar Uni Eropa dan lainnya, dengan kepemimpinannya mengarahkan ke proses multistakeholder.'
"Sehingga Indonesia menjadi ujung tombak dalam upaya memerangi pembalakan liar melalui sistem legalitas yang berkelas dunia," katanya merujuk pada skema Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang telah dibuat Indonesia.
Manajer GFTN-WWF Indonesia Aditya Bayunanda menjelaskan bahwa verifikasi legalitas dicanangkan sebagai jawaban atas permintaan Indonesia agar negara negara pengimpor kayu tidak membeli kayu ilegal dari Indonesia.
Kegiatan dimulai melalui proses 'multistakeholder' sejak 2001 yang kemudian melahirkan draft pertama standar legalitas pada tahun 2005 yang difasilitasi oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).
Ia mengatakan SVLK merupakan suatu langkah verifikasi independen yang telah di diatur dengan Permenhut 38/2009, dan terakhir direvisi P.42/Menhut-II/2013.
Fasilitasi UKM
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asmindo Indrawan mengatakan kerja sama dengan WWF Indonesia dan berbagai lembaga lain memberikan fasilitas kepqada UKM untuk mendapatkan SVLK yang bersifat wajib itu.
Menurut dia, program Asmindo terkait SVLK adalah terlibat dalam tim perumusan dan penyepurnaan terkait SVLK, bersama Kemenhut, Kemenperin, Kemendag, dan lainnya.
Selain itu, kata dia, juga membentuk Asmindo Conculting Care (ACC), di mana saat ini baru dilaksanakan di sembilan Komisariat Daerah (Komda) dari 24 yang ada di seluruh Indonesia.
Upaya dan program yang dilakukan, kata dia, adalah untuk mendorong terwujudnya standarisasi mutu, baik di bidang tenaga kerja maupun hasil produk, guna memenuhi persyaratan perdagangan domestik dan internasional.
Pada kesempatan diskusi juga berbicara European Union Program Manager for Police and Organized Crime Giovanni Seritella, Manajer GFTN-WWF Inggris Julia Young, Dita Ramadhani dari WWF, serta Rudy T Luwia dan I Ketut Alit Wisnawa.
Kegiatan kunjungan jurnalis pada Rabu ini dilanjutkan dengan mengunjungi UKM PT Cambium Furni Industri Jepara, salah satu dari 30 UKM terpilih yang mendapat bantuan fasilitasi untuk mendapatkan SVLK.