REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Bank Himpunan Saudara Rully Nova menyatakan, pasar akan pesimistis jika default benar-benar terjadi di Amerika Serikat (AS). Ekonomi negara berkembang akan semakin tertekan dengan kondisi gagal bayar AS.
"Negara sebesar AS saja bisa default, apalagi negara berkembang. Surat utang pemerintah seperti Indonesia akan tergerus, seperti tsunami," ujar Rully kepada Republika, Rabu (16/10).
Rully menilai kesepakatan akan tercapai antara partai Republik dan Demokrat. Kondisi saat ini hanya merupakan dinamika politik saja tentang bagaimana keduanya saling mempertahankan bargaining position.
AS tidak mungkin membiarkan negaranya jatuh dalam krisis mengingat saat ini kondisi ekonomi negara tersebut sudah berada di jalur yang benar. Jika dibiarkan, AS akan kembali jatuh ke jurang krisis dan pengangguran akan semakin meningkat.
Menurutnya, pemerintah, terutama Bank Indonesia (BI) sudah melakukan sejumlah upaya untuk mempersiapkan diri, termasuk kesepakatan dengan Cina dan Jepang. Kesepakatan dilakukan untuk meningkatkan cadangan devisa negara.
Akan tetapi, jika default AS benar-benar terjadi, sebesar apapun cadangan devisa tidak akan mampu membuat negara bertahan dari apa yang diakibatkan dari default. "AS pasti sudah menyadari hal ini. Jadi kemungkinan mereka akan memperoleh kesepakatan," kata Rully.
Default akan mengakibatkan ekspor Indonesia tergerus. Saat ini ekspor Indonesia paling banyak adalah ke Cina dan Jepang. Sedangkan kedua negara tersebut merupakan pemegang obligasi pemerintah AS. Kondisi gagal bayar AS akan merugikan Jepang dan Cina, sehingga merembet ke ekspor Indonesia.
Jika ekspor terganggu, neraca perdagangan akan terganggu. Jika neraca perdagangan terganggu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan melemah.