Ahad 15 Sep 2013 18:41 WIB

BI Masih Monitor Laju Kredit Perbankan

Rep: Satya Festiani/ Red: Heri Ruslan
Bank Indonesia
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Bank Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) masih terus memonitor perbankan yang memiliki pertumbuhan kredit yang tinggi. Berdasarkan data BI, pertumbuhan kredit perbankan pada Agustus telah menurun menjadi 22 persen (yoy) dari 22,3 persen pada Juli.  Penurunan disebabkan oleh pengaruh base effect dan realisasi dari komitmen yang sudah ada.

Deputi Gubernur BI, Halim Alamsyah, mengatakan BI masih terus melakukan supervisory action dengan memantau bank-bank yang strategi pendanaan dan strategi ekspansinya tidak seimbang. Supervisory action tersebut dilakukan agar pertumbuhan kredit sejalan dengan perkembangan perekonomian dan dapat mendukung stabilitas industri perbankan dan sistem keuangan.

Supervisory action dilakukan pada semua bank, tetapi dengan menggunakan pendekatan yang berbeda-beda tergantung karakter setiap bank. "Kami awasi satu per satu, makanya kami tidak bisa mengeluarkan aturan karena itu pendekatannya beda-beda setiap bank," ujar Halim pada akhir pekan.

Berdasarkan pemantauan sementara, Halim mengatakan BI tidak menemukan bank yang strategi pendanaan dan ekspansinya tidak seimbang. Menurutnya, supervisory action lebih berfungsi sebagai pencegahan agar ketika bank tersebut berekspansi, ekspansinya tidak terlalu tinggi.

"Kami mencoba mengingatkan bank agar kalau berdasarkan penilaian pengawas, strategi ekspansi kredit dan fundingnya serta risiko kreditnya (NPL) tidak seimbang nanti bisa terganggu," ujar Halim.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Difi Johansyah, mengatakan ketahanan industri perbankan tetap terjaga. Perbankan dapat mempertahankan rasio kecukupan modal (CAR) yang masih tinggi, yakni sebesar 18 persen, di tengah tren perlambatan ekonomi dan depresiasi rupiah. Angka tersebut berada jauh di atas ketentuan minimum CAR sebesar 8 persen. NPL juga masih dapat dijaga sebesar 1,9 persen pada Juli.

Direktur Utama PT Bank Danamon Indonesia, Henry Ho, mengatakan ia setuju dengan perlambatan kredit yang disertai kenaikan BI Rate. Menurutnya, hal tersebut  akan mendukung stabilitas industri perbankan dan sistem keuangan. "Indonesia telah tumbuh dengan kuat dalam beberapa tahun terakhir. Dengan adanya defisit transaksi berjalan dan pelemahan rupiah, kita harus melambat," ujar dia.

Danamon juga akan memperlambat pertumbuhan kreditnya. Henry mengatakan pihaknya tidak dapat tumbuh dengan tinggi di tengah adanya defisit transaksi berjalan. Oleh karena itu, Danamon telah merevisi target pertumbuhan kredit menjadi 15-18 persen dari 18-20 persen.

Ekonom Standard Chartered, Eric Sugandi, mengatakan kebijakan BI dan kenaikan suku bunga akan membuat pertumbuhan kredit melambat menjadi 17-18 persen. Menurutnya, perlambatan kredit perlu dilakukan. "Dalam jangka panjang kalau perbankan direm, perbankan bisa jadi lebih sehat karena perbankan tidak akan gegabah memberi lending," ujar dia.

Dengan adanya kebijakan BI dan kenaikan suku bunga, ia memprediksi kredit yang paling cepat melambat adalah modal kerja dan pertambangan. Perlambatan juga disebabkan oleh harga komoditas global yang melambat dan rupiah yang tertekan. Sementara itu, kredit properti dinilainya masih belum berkurang karena permintaan masih tinggi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement