REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pelaku industri baja konstruksi nasional menilai ketimpangan regulasi antara baja lokal dan baja impor semakin menekan keberlangsungan usaha mereka. Masuknya baja murah dari Vietnam dan Cina tanpa standar ketat yang sama, dianggap menciptakan ketidakadilan di pasar domestik.
Ketua Umum Indonesian Society of Steel Construction (ISSC) Budi Harta Winata menyebut baja impor yang membanjiri Indonesia tidak hanya mengganggu stabilitas industri nasional, tapi juga menyingkirkan produsen lokal yang selama ini patuh terhadap regulasi pemerintah.
“Sekarang ini kita kebanjiran produk impor dari Vietnam dan Cina. Hal ini sangat mengganggu keberlangsungan industri konstruksi baja dalam negeri,” ujar Budi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (17/7/2025).
Menurut Budi, banyak proyek beralih menggunakan baja impor yang dijual dengan harga lebih murah, meski tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 2020 yang mengatur bentuk, spesifikasi teknis, dan ketahanan terhadap gempa.
“Ada salah persepsi kalau konstruksi baja dalam negeri itu dibilang mahal. Bukan mahal, tapi memang secara bentuk dan spesifikasinya berbeda karena harus mengacu pada peraturan SNI tahun 2020 terkait desain hingga standar tahan gempa,” jelasnya.
Budi mengkritik tidak konsistennya pemerintah dalam menegakkan aturan main. Produsen lokal diwajibkan mematuhi SNI dan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), sementara produk asing yang tak memenuhi dua ketentuan itu tetap bebas beredar di pasar nasional.
“Mestinya harus ada peraturan yang sama biar adil. Jangan kita konstruksi baja lokal harus mengikuti aturan, sedangkan yang dari luar negeri itu tidak pakai aturan itu,”katanya.
Kondisi ini, lanjut Budi, diperparah oleh penurunan permintaan proyek, baik dari pemerintah maupun swasta. Sejak awal 2025, ia menyebut belum ada pekerjaan signifikan yang masuk ke pelaku industri baja lokal.
“Dari Januari sampai sekarang, belum ada pekerjaan dari pemerintah, sedangkan pekerjaan dari swasta juga tidak ada karena kita kalah dengan produk baja dari Vietnam dan Cina. Spesifikasi produk mereka lebih kecil, tidak sesuai SNI, dan ini sangat mengganggu produksi baja dalam negeri,” ujar Budi.
Budi mengaku industri dalam negeri sebenarnya mampu memproduksi baja serupa dengan harga lebih murah, tapi memilih tidak melakukannya demi menjaga kualitas dan keselamatan konstruksi.
“Kami bisa saja membuat produk seperti dari Vietnam dan Cina dengan harga yang pasti jauh lebih murah karena tidak ada ongkos kirim. Tapi kan kita tidak berani karena itu tidak sesuai standar SNI,” tambahnya.
ISSC, kata Budi, tidak menolak keberadaan baja asing di pasar nasional. Namun ia menuntut agar persaingan dilakukan secara sehat dengan penerapan aturan yang adil bagi semua pihak.
“Kita bukan anti asing, tapi kita ingin adanya persaingan yang sehat. Kalau mereka boleh bikin produk baja seperti itu, harusnya kita juga boleh. Kalau memang tidak boleh karena tidak ada SNI, harusnya mereka tidak boleh masuk dong,” tegasnya.
Budi juga menyesalkan pemerintah yang masih membiarkan proyek-proyek strategis menggunakan baja tanpa memperhatikan kandungan lokal dan aspek keselamatan. Ia menekankan perlunya konsistensi dalam penerapan regulasi demi menjaga keberlangsungan industri baja nasional.
“Kita mendorong adanya konsistensi dalam menerapkan aturan. Kita selama ini patuh menerapkan produk sesuai SNI dan TKDN, tapi kenyataannya produk yang tidak memiliki TKDN justru itu yang dipakai di Indonesia,” katanya.