Ahad 12 May 2013 14:54 WIB

Pemberian BLSM Bentuk Pembodohan Masyarakat Miskin

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Nidia Zuraya
Andrinof Chaniago
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Andrinof Chaniago

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberian bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebagai kompensasi dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dinilai sebagai pembodohan bagi masyarakat miskin. Pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia Andrinof Chaniago mengatakan alih-alih menyelesaikan masalah, BLSM justru menambah masalah.

"Kebijakan itu hanya menyelesaikan sedikit masalah dan tujuannya terlalu jangka pendek," ujar Andrinof kepada ROL, Ahad (12/5). 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kenaikan harga BBM akan dilakukan pada tahun ini. Meskipun demikian, kenaikan harga baru diberlakukan setelah perluasan program kompensasi bagi masyarakat miskin disetujui oleh DPR. Perluasan itu akan diajukan dalam revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013.

Andrinof mengatakan sebaiknya kompensasi bagi masyarakat miskin berupa program-program yang memiliki manfaat dalam jangka panjang. Misalnya pemberdayaan dan penguatan keluarga serta penguatan angkatan kerja yang berasal dari masyarakat miskin. Ia juga menyarankan agar kenaikan harga BBM sebaiknya berada di kisaran 10 sampai 15 persen sehingga bantuan semacam BLSM tidak diperlukan. 

Pemerintah, lanjut Andrinof, harus secara jujur mengakui bahwa dampak berkelanjutan dari pemberian BLSM tidak ada. Dari sisi sosial, masyarakat miskin akan tetap miskin. Sedangkan dari sisi politik, Andrinof menyebut motif politiknya adalah keinginan menarik dukungan dari kelompok masyarakat tertentu, khususnya masyarakat miskin. "Ini tentu menguntungkan mereka yang berkuasa," ucapnya.

Andrinof memprediksi pembahasan BLSM bersamaan dengan perluasan program beras untuk masyarakat miskin (raskin), program keluarga harapan (PKH) serta program beasiswa siswa miskin (BSM) dalam revisi APBN 2013 akan berjalan mulus. Sebab baik pemerintah maupun DPR memiliki pola pikir yang sama karena diisi oleh sebagian besar politis. "Kita membutuhkan kompensasi yang realistis dan minim politisasi," ujar Andrinof.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement