Rabu 03 Apr 2013 13:17 WIB

Picu Inflasi, Produksi Bawang Bakal Ditingkatkan Kementan

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Djibril Muhammad
Menteri Pertanian Suswono
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Menteri Pertanian Suswono

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) memastikan akan terus melakukan optimalisasi produksi sejumlah komoditas seperti bawang merah maupun bawang putih untuk menekan laju inflasi. 

Namun, untuk komoditas yang didominasi impor seperti bawang putih, impor akan dikurangi secara berkala seiring upaya peningkatan produksi. "Itu akan dilakukan," tutur Menteri Pertanian Suswono kepada wartawan di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (3/4). 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat indeks harga konsumen atau inflasi Maret 2013 mencapai 0,63 persen. Komponen pengeluaran bahan makanan bawang merah memiliki andil 0,44 persen, bawang putih 0,20 persen dan cabai rawit 0,05 persen. 

Inflasi Maret lebih rendah dibandingkan Februari 2013 yang tercatat 0,75 persen. Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo mengakui inflasi Maret 2013 tak lepas dari gejolak harga bahan makanan terutama bawang merah dan bawang putih. 

Hal ini, kata Agus, harus ditindaklanjuti dengan seksama Kementan dan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Tujuannya agar inflasi di bulan-bulan selanjutnya dapat lebih rendah dibandingkan Maret 2013.

Terkait bawang putih, Suswono mengakui 90 persen produk yang beredar di Tanah Air adalah produk impor.  Untuk mengurangi presentase impor, Kementerian Pertanian telah memiliki peta jalan (road map) untuk meningkatkan produksi bawang putih.

Caranya dengan penambahan luas lahan tanam 1.000 hingga 2 ribu hektare (ha) per tahun. Suswono bercerita, beberapa tahun lalu Indonesia memiliki luas lahan tanam bawang putih setara 20 ribu ha.

Akan tetapi akibat adanya liberalisasi perdagangan yang berujung pada masuknya bawang putih impor, akibatnya produk impor membanjir dengan harga murah. Hal ini yang kemudian menekan petani bawang putih Tanah Air, sehingga sentra bawang putih menurun. 

Selain itu, dari sisi harga, produk yang dihasilkan petani lokal lebih mahal dibandingkan produk impor. Hal tersebut tak lepas dari minimnya lahan yang dimiliki oleh petani lokal.

Akibatnya produksi hanya bisa dilakukan dalam skala kecil. Berbeda dengan produk impor yang dihasilkan dari pertanian skala besar. "Ini yang sedang kita kembalikan," kata Suswono.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement