REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia (BI), Darmin Nasution menyoroti soal krisis perbankan di Ciprus. Menurutnya, Siprus hanyalah persoalan negara kecil, tapi menimbulkan riak keuangan global.
"Kasus Bank of Cyprus ini menimbulkan risk off. Kondisinya, mulai banyak dana-dana spekulatif yang beredar secara global. Investor akhirnya mencari tempat aman atau save haven dalam bentuk dolar AS dan emas," kata Darmin ketika dijumpai Republika.
Dalam situasi risk off seperti ini, jika pergerakan keuangan dunia, maka indeks harga saham gabungan (IHSG) dan nilai tukar di berbagai negara dunia akan melemah. Kemudian, dolar AS menguat dan harga emas naik. Rencana dana talangan (bailout) Siprus dibuka kembali.
Jika tidak, maka ini akan mengefek ke ekonomi global. Pasalnya, Siprus memang negara kecil namun kapitalisasi perbankannya sangat besar. Bahkan, omset perbankannya lebih besar berkali lipat dibandingkan pendapatan domestik bruto atau PDB-nya.
Melalui kombinasi bauran kebijakan ekonomi, Darmin menilai perekonomian Indonesia dalam beberapa waktu terakhir dipandang cukup mampu bertahan di tengah situasi perekonomian global yang bergejolak.
"Dibandingkan dengan Brasil, India, dan Turki, kondisi perekonomian Indonesia masih tangguh mengatasi risiko kredit perbankan yang bermasalah, laiknya Siprus," ujarnya.
Indonesia juga efektif memitigasi risiko lredit dan mencegah pelarian modal tanpa harus menaikkan suku bunga. Ini padahal terjadi di tengah kondisi transaksi berjalan yang selalu defisit. Bank sentral bisa mendorong tingkat bunga tinggi supaya modal dana dolar AS tetap bisa masuk.
Menurut Darmin, BI memang mencoba mengubah pola suku bunga tinggi. Caranya, menerapkan makro prudensial. Jadi, policy rate tak harus naik pada saat tekanan ekonomi terjadi. Ini tentunya membutuhkan cost. Namun, di sini fungsinya cadangan devisa yang bisa digunakan untuk mengendalikan nilai tukar.
BI juga telah memberlakukan aturan Capital Equivalency Maintainedd Assets (CEMA) terkait seluruh bank wajib menyediakan modal minimal satu triliun rupiah dan harus ditempatkan pada aset keuangan di dalam negeri. Aturan ini sudah berlaku per 1 Januari 2013.
Tujuan aturan ini untuk mengamankan ekonomi Indonesia dari dampak sistemik krisis keuangan global. Misalnya, jika kantor pusat bank asing di luar negeri ini mengalami krisis, maka mereka tak semudah itu bisa menarik dana keluar dari Kantor Cabang Bank Asing (KCBA) yang ada di Indonesia.