Jumat 07 Nov 2025 20:17 WIB

PUSKEP UI dan Gaikindo Pastikan E10 Aman untuk Kendaraan Produksi 2000 ke Atas

Penerapan E10 dinilai percepat energi hijau dan tingkatkan nilai tambah komoditas.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Gita Amanda
Penerapan E10 akan mempercepat transisi menuju energi hijau sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. (ilustrasi)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Penerapan E10 akan mempercepat transisi menuju energi hijau sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Kajian Ketahanan Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan Universitas Indonesia (PUSKEP UI) mendukung target penerapan etanol 10 persen (E10) pada bensin yang direncanakan berlaku pada 2027. Ketua PUSKEP UI, Ali Ahmudi, mengatakan penerapan E10 akan mempercepat transisi menuju energi hijau sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.

“Namun, E10 harus diterapkan di semua SPBU di Tanah Air agar transisi energi segera tercapai. Penerapannya tidak hanya di SPBU Pertamina saja, tetapi juga di SPBU swasta,” ujar Ali dalam diskusi publik bertajuk “Dampak Etanol terhadap Kualitas BBM” di Kampus UI Salemba, Jakarta, Jumat (7/11/2025).

Baca Juga

Ali menambahkan, penerapan E10 di seluruh SPBU, baik milik Pertamina maupun swasta, akan membuat konsumen tidak bingung terhadap kebijakan baru ini. Hal tersebut juga menjadi bentuk dukungan bersama dalam mempercepat pengurangan konsumsi energi fosil.

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, menyampaikan bahwa E10 aman digunakan untuk kendaraan bermotor baru maupun lama yang diproduksi sejak tahun 2000. Ia menjelaskan, penerapan etanol pada bensin telah diuji oleh Japan Automobile Manufacturers Association (JAMA) di kawasan Asia Pasifik, termasuk di Indonesia.

“Penerapan E10 aman bagi hampir semua kendaraan bermotor yang diproduksi mulai tahun 2000,” ujar Kukuh.

Dalam diskusi yang sama, Kukuh mendorong pemerintah untuk menyusun road map penerapan E10 yang tidak hanya mendorong transisi energi, tetapi juga memperkuat perekonomian nasional dan daerah. Sebab, bahan baku etanol berasal dari komoditas pertanian seperti singkong, jagung, tebu, dan sorgum.

“Semua pihak perlu bersinergi dan mengutamakan keunggulan daerahnya. Misalnya, etanol di Jawa Timur diproduksi dari tebu, di Lampung berbahan baku singkong, dan seterusnya,” ujar Kukuh.

Peneliti senior PUSKEP UI bidang bioenergi, Zarkoni Azis, menjelaskan penerapan E10 pada bensin kendaraan dapat meningkatkan octane number menjadi 97,1. Angka tersebut berdasarkan hasil uji pencampuran bensin dengan bioetanol anhidrat (anhydrous ethanol).

Zarkoni menerangkan, bioetanol anhidrat merupakan bioetanol berkadar di atas 99,5 persen dengan kandungan air maksimal satu persen v/v, hasil dari proses dehidrasi bioetanol hidrat. Ia menyarankan agar regulator mempertimbangkan penggunaan bioetanol hidrat (hydrous ethanol) dalam kebijakan nasional.

Menurut Zarkoni, bioetanol hasil distilasi azeotropik memiliki kadar air sekitar 4–5 persen v/v atau kadar bioetanol 95–96 persen v/v (192-proof alcohol). Belakangan, secara global memang ada kecenderungan penggunaan bioetanol hidrat untuk campuran gasohol E10–E100 karena biayanya lebih murah dan lebih ramah lingkungan.

“Alasannya karena biaya produksi lebih rendah dan energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan bioetanol hidrat juga lebih sedikit,” ujar Zarkoni.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement