REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Research and Development Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX), Taufan Dimas Hareva, mengatakan pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah dipengaruhi oleh ekspektasi bahwa suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/The Fed) akan bertahan tinggi lebih lama.
“Hal ini menyusul sejumlah data ekonomi AS yang tetap solid, termasuk pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dan klaim pengangguran mingguan yang masih stabil,” ujarnya di Jakarta, Rabu (29/10/2025).
Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan Rabu sore melemah 9 poin atau 0,05 persen menjadi Rp16.617 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.608 per dolar AS. Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada hari yang sama juga melemah di level Rp16.631 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.622 per dolar AS.
Sentimen lain terhadap rupiah datang dari imbal hasil (yield) obligasi AS yang tetap tinggi sehingga menahan minat terhadap aset berisiko di kawasan Asia, termasuk rupiah. Dari sisi domestik, pelaku pasar masih menantikan arah kebijakan lanjutan Bank Indonesia setelah mempertahankan BI-Rate pada level 6,25 persen pekan lalu.
“Upaya stabilisasi nilai tukar melalui intervensi di pasar valas dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) diperkirakan akan menjaga volatilitas rupiah agar tetap terkendali. Surplus neraca perdagangan dan aliran masuk devisa hasil ekspor juga masih menjadi faktor penahan pelemahan lebih dalam,” ungkap Taufan.
Ia menambahkan, pergerakan rupiah yang relatif datar dalam beberapa hari terakhir mencerminkan fase konsolidasi pasar di tengah minimnya katalis baru. Pelaku pasar cenderung bersikap wait and see menjelang hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang akan diumumkan pada Rabu malam waktu AS (30/10/2025).
“Keputusan dan pandangan The Fed terkait Federal Funds Rate (FFR) akan menjadi petunjuk utama arah kebijakan moneter AS ke depan serta berpotensi memengaruhi sentimen terhadap aset berisiko, termasuk rupiah,” ujar Taufan.