REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap tahun, ribuan lulusan baru di Indonesia menghadapi tantangan serupa bahwa ijazah belum cukup untuk menjamin kesiapan memasuki dunia kerja. Kesenjangan antara kemampuan lulusan dan kebutuhan industri (skill gap) dinilai masih menjadi persoalan utama di pasar tenaga kerja Indonesia.
Banyak perusahaan kini lebih menekankan kemampuan praktis, pengalaman proyek, serta keterampilan digital, bukan sekadar nilai akademis atau gelar sarjana. Kondisi ini membuat sebagian besar fresh graduate kesulitan menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja yang terus berubah.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Apalagi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang per Februari 2025 lalu. Angka pengangguran ini bertambah sebanyak 83,450 orang dibandingkan setahun sebelumnya.
CEO Dibimbing.id, Zaky Muhammad Syah, mengungkapkan ketidaksesuaian keterampilan antara dunia pendidikan dan industri masih cukup besar. Hal inilah yang menyebabkan sarjana baru tak terserap dunia kerja.
“Skill gap dan ketidaksesuaian antara lulusan dan kebutuhan pasar kerja menjadi tantangan utama di Indonesia. Kami berupaya menjembatani hal itu agar talenta muda lebih siap bersaing,” kata Zaky dalam keterangannya pada Selasa (28/10/2025).
Sebagai salah satu platform pelatihan digital, Dibimbing.id mengembangkan kurikulum berbasis proyek industri dan mentoring langsung dari praktisi. Peserta tidak hanya belajar teori, tetapi juga menerapkan keahlian dalam proyek nyata sesuai kebutuhan perusahaan.
Melalui program pelatihan seperti Career Acceleration dan Job Connect Bootcamp, peserta memperoleh bimbingan mulai dari peningkatan keterampilan, pembuatan portofolio, hingga simulasi wawancara kerja. Sejak berdiri pada 2020, platform ini mencatat sebagian besar alumninya berhasil memperoleh pekerjaan di bidang yang relevan.
"Dengan pendekatan yang terstruktur, relevan, dan berdampak langsung, kami membuktikan masa depan karier gemilang tidak hanya ditentukan oleh gelar, tetapi juga oleh kemauan belajar dan kesempatan yang tepat," ujar Zaky.
Kisah sejumlah peserta menunjukkan bahwa pelatihan praktis dapat menjadi jalan keluar bagi mereka yang sebelumnya kesulitan menembus pasar kerja. Salah satunya, M. Subhan, yang beralih profesi dari tukang fotokopi menjadi desainer antarmuka digital setelah mengikuti program pengembangan keterampilan. Ada pula peserta lain yang memanfaatkan pelatihan digital marketing untuk membuka usaha sendiri, serta alumni yang kini bekerja di luar negeri berbekal kemampuan analisis data.
Oleh karena itu, fenomena ini disebut Zaky mencerminkan kebutuhan mendesak terhadap sistem pembelajaran yang lebih responsif terhadap dunia industri.
"Tanpa penyesuaian kurikulum dan peningkatan keterampilan digital, lulusan baru akan terus tertinggal dari dinamika pasar tenaga kerja yang kian kompetitif," ujar Zaky.