Selasa 30 Sep 2025 13:34 WIB

Ekonom Peringatkan Risiko Mandat Baru BI dalam Revisi UU P2SK

Ekonom menekankan pentingnya kejelasan peran bank sentral dalam revisi UU P2SK.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
 Komisi XI DPR RI bersama pemerintah tengah melakukan proses revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Ekonom menyoroti mandat baru Bank Indonesia (BI) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (pro-growth) dalam proses revisi beleid tersebut. (ilustrasi)
Foto: Prayogi/Republika
Komisi XI DPR RI bersama pemerintah tengah melakukan proses revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Ekonom menyoroti mandat baru Bank Indonesia (BI) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (pro-growth) dalam proses revisi beleid tersebut. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi XI DPR RI bersama pemerintah tengah melakukan proses revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Ekonom menyoroti mandat baru Bank Indonesia (BI) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (pro-growth) dalam proses revisi beleid tersebut.

“Perdebatan revisi UU P2SK memunculkan gagasan agar BI mengambil peran lebih jauh dalam mendorong sektor riil dan penciptaan kerja. Dorongan ini lahir dari kebutuhan yang nyata: ekonomi butuh investasi yang tinggi, pembiayaan yang murah, dan pasar tenaga kerja yang menyerap,” kata Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, dalam keterangannya, Selasa (30/9/2025).

Baca Juga

Menurutnya, undang-undang harus merancang peran bank sentral dengan presisi. BI paling efektif ketika menjaga jangkar inflasi, memastikan sistem keuangan stabil, dan membuat transmisi kebijakan bekerja mulus ke perekonomian. Jika mandat melebar tanpa instrumen yang memadai, kredibilitas akan melemah, biaya penyesuaian meningkat, dan tujuan pertumbuhan justru mundur.

Syafruddin memandang, BI layak memperkuat pertumbuhan melalui mandat inti. Caranya, menata suku bunga kebijakan yang kredibel, menjaga likuiditas yang memadai, menjalankan kebijakan makroprudensial berbasis siklus, memperdalam pasar uang dan valuta asing (valas), serta membangun ekosistem pembayaran digital yang efisien. Rangkaian kebijakan tersebut menurunkan biaya modal, memperkaya instrumen pembiayaan, dan mempercepat transmisi kredit. Semuanya mendukung sektor riil tanpa mengaburkan prioritas stabilitas harga.

“Jika negara menambah sasaran, negara perlu menambah instrumen, proses akuntabilitas, dan garis tanggung jawab yang tegas. Target pertumbuhan dan pekerjaan sebaiknya berpusat pada kebijakan fiskal, reform struktural, dan proyek publik, sementara BI menghasilkan lingkungan makro yang bisa dipercaya agar keputusan investasi terjadi sekarang, bukan esok,” tuturnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement