Senin 22 Sep 2025 10:42 WIB

Ekonom Bongkar Plus Minus Kementerian BUMN Dilebur ke Danantara

Wacana peleburan Kementerian BUMN ke Danantara dinilai penuh peluang dan risiko.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Isu Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dilebur ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) menguak, usai posisinya kosong ditinggalkan Erick Thohir yang kini menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora).  (ilustrasi)
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Isu Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dilebur ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) menguak, usai posisinya kosong ditinggalkan Erick Thohir yang kini menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Isu Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dilebur ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) menguak, usai posisinya kosong ditinggalkan Erick Thohir yang kini menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora). Ekonom memandang wacana peleburan Kementerian BUMN ke Danantara memiliki plus minus masing-masing.

“Apakah peleburan Kementerian BUMN ke Danantara langkah yang tepat? Pertanyaan itu mendesak dijawab karena menyentuh dua hal yang kerap bercampur: fungsi negara sebagai pemilik perusahaan dan fungsi negara sebagai pembuat kebijakan,” kata Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat dalam keterangannya, Senin (22/9/2025).

Baca Juga

Achmad menyebut, jika keduanya tidak dipisahkan dengan jelas, BUMN akan terus hidup dalam tarik-menarik yang melelahkan, yakni mengejar laba di satu sisi sekaligus menjalankan mandat pelayanan publik di sisi lain, sambil tetap tunduk pada siklus politik.

Rumusan masalahnya yakni, bisakah peleburan Kementerian BUMN ke Danantara membuat garis kepemilikan lebih tegas, keputusan bisnis lebih cepat, dan pada saat yang sama memperkuat akuntabilitas publik. Gagasan tersebut dinilai sederhana, namun sulit dalam praktiknya.

“Peleburan hanya layak jika benar-benar mengganti ‘taring’ politik dengan ‘taring tata kelola’, governance yang kuat, transparan, dan bisa diuji publik,” ujarnya.

Lebih lanjut, Achmad mencatat beberapa hal positif jika Kementerian BUMN dilebur ke Danantara, dengan adanya sejumlah syarat.

“Jawaban jujur: bisa bagus, dengan syarat. Bagus jika peleburan ini mengakhiri kerancuan antara peran pemilik dan peran regulator, mempercepat keputusan korporasi, dan menegakkan disiplin kinerja—return on equity, internal rate of return, cash conversion, hingga economic value added,” kata Achmad.

Selain itu, bagus juga jika budaya ‘penempatan orang’ bergeser menjadi budaya ‘penempatan modal’. Jadi, siapa pun yang duduk, tolok ukurnya adalah nilai tambah bersih, bukan kedekatan politik.

“Bagus jika Danantara didesain sebagai super holding yang ramping, dengan dewan independen yang kuat, komite investasi berintegritas, dan pelaporan konsolidasi yang patuh PSAK/IFRS (pernyataan standar akuntansi keuangan dan interpretasi standar akuntansi keuangan), lengkap dengan look through leverage agar risiko tidak bersembunyi di anak perusahaan,” terangnya.

Namun, Achmad melanjutkan, di sisi lain ada pula hal-hal buruk yang mungkin terjadi jika Kementerian BUMN benar-benar dilebur ke Danantara.

“Bisa buruk bila peleburan hanya memindahkan kewenangan tanpa memperbaiki checks and balances,” tuturnya.

Menurutnya, akan buruk jika mandat Danantara tidak ditulis ulang dan diselaraskan dengan INA (Indonesia Investment Authority). Juga jika kewenangan regulator sektoral (ESDM, Perhubungan, Kominfo, dan lain-lain) tidak dipertegas, jika cooling-off politik diabaikan, serta jika transaksi related party tidak diterangi sorot lampu yang terang.

“Buruk jika kebijakan dividen tidak jelas: negara bisa kehilangan setoran jangka pendek sementara nilai jangka panjang pun belum terwujud. Singkatnya, struktur tanpa tata kelola adalah undangan bagi risiko,” terangnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement