Jumat 12 Sep 2025 14:58 WIB

Pemerintah Setop Impor Jagung dan Gula untuk Industri, Ini Alasannya

Pemerintah juga menyiapkan anggaran khusus untuk menyerap gula petani.

Rep: Frederikus Dominggus Bata/ Red: Ahmad Fikri Noor
Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (12/3/2025).
Foto: BPMI Setpres
Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (12/3/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono menyampaikan, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kini mengambil langkah tegas dengan menghentikan impor jagung dan gula industri. Pemerintah juga menyiapkan anggaran khusus untuk menyerap gula petani yang belum terjual.

Ia menerangkan, saat ini produktivitas jagung domestik sudah tinggi sehingga tidak akan ada lagi impor jagung dan gula industri. Realisasinya sudah sekitar 70 persen.

Baca Juga

"Keputusannya adalah kita setop dulu supaya produksi dalam negeri bisa terserap dengan baik,” kata Sudaryono usai rapat terbatas membahas neraca komoditas gula dan jagung di Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Jakarta, Jumat (12/9/2025).

Wamentan memastikan negara tidak akan tinggal diam menghadapi persoalan yang membelit petani. Itu mulai dari tersendatnya serapan hasil panen hingga praktik persaingan harga yang tidak sehat akibat peredaran gula rafinasi di pasar tradisional.

Saat ini, Indonesia menghadapi kondisi surplus gula sekitar 1 juta ton. Meski opsi ekspor terbuka, pemerintah menegaskan bahwa kebutuhan dalam negeri tetap menjadi prioritas utama. "Kalau bisa terserap dalam negeri, tentu itu prioritas. Untuk jagung pakan misalnya, serapannya harus sepenuhnya dari petani kita. Begitu juga gula, harus dioptimalkan penyerapan dari produksi dalam negeri,” jelas Sudaryono.

Ia menambahkan, kebutuhan jagung untuk pakan ternak dan industri sebenarnya masih bisa dipenuhi oleh produksi petani, asalkan ada proses hilirisasi yang baik. “Sekitar 600 ribu ton kebutuhan jagung industri itu sebenarnya bisa kita substitusi dari panen petani kita. Tentu saja harus ada industri intermediate yang mengolah hasil panen itu agar sesuai dengan requirement industri,” tutur Sudaryono.

Di balik surplus tersebut, Wamentan menyoroti masalah serius di lapangan, yakni kebocoran gula rafinasi ke pasar tradisional. Padahal, gula rafinasi sejatinya diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman. “Kalau gula rafinasi bocor ke pasar, harganya jauh lebih murah daripada gula konsumsi dari tebu petani. Dampaknya, serapan gula petani macet hingga seratus ribu ton. Ini jelas merugikan petani dan merupakan bentuk kejahatan yang harus ditindak tegas, baik pedagang maupun perusahaan yang terlibat,” tegasnya.

Praktik curang ini membuat harga gula petani jatuh di bawah Harga Acuan Penjualan (HAP) Rp 14.500 per kilogram. Kondisi ini terlihat di sejumlah daerah, seperti di Pabrik Gula Assembagoes, Situbondo, Jawa Timur, di mana ribuan ton gula petani menumpuk di gudang karena tidak terserap pasar.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mengalokasikan Rp 1,5 triliun melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia) guna menyerap gula petani yang tidak laku terjual. Skema ini mirip intervensi harga gabah yang dilakukan Bulog.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement