REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Sejumlah pakar kehutanan dan ekonomi meminta pemerintah menyederhanakan aturan agar industri kayu nasional kembali bergairah dan berdaya saing. Mereka menilai regulasi saat ini justru memperlambat investasi, melemahkan produksi, sekaligus memperkecil kontribusi sektor kehutanan bagi perekonomian.
Pakar kehutanan IPB, Sudarsono Sudomo, menilai penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) tidak berdampak signifikan di lapangan. Menurut dia, aturan tersebut lebih banyak menimbulkan biaya dibandingkan manfaat.
Rata-rata petani, lanjutnya, hanya mengurus SVLK bila ada bantuan. Bahkan banyak yang tidak mengetahui keberadaan sertifikatnya. Ia juga menolak anggapan pengusahaan hutan alam menjadi penyebab utama deforestasi. “Deforestasi lebih sering akibat alih fungsi lahan. Hutan alam bisa pulih secara biologis, meski belum tentu secara finansial,” ujarnya.
Sudarsono mencatat, sejak 1990 hingga 2023, jumlah perusahaan, luas areal, dan produksi kayu terus menurun tajam. Dari sekitar 600 unit usaha kehutanan di hutan alam, kini hanya sekitar 250 yang masih aktif. Rendahnya investasi menjadi salah satu penyebab. “Industri kehutanan hanya mampu menyerap sekitar 1.500 tenaga kerja per Rp1 triliun investasi. Ini jauh di bawah sektor lain,” katanya.
Pengamat kehutanan Petrus Gunarso menyoroti isu ketelusuran kayu (traceability) yang sering dipahami keliru. Menurutnya, perubahan hutan alam menjadi hutan tanaman kerap dianggap deforestasi oleh LSM internasional. Padahal, hutan tanaman seperti eukaliptus dapat dipanen dalam enam tahun.
Ia juga menilai narasi internasional sering tidak proporsional. “Ekspor ke Amerika kebanyakan justru kayu sisa dari land clearing HTI. Itu legal, tapi dibingkai seolah pembalakan liar besar-besaran,” jelasnya.
Dari sisi ekonomi, pengamat CELIOS Nailul Huda menyebut sektor kehutanan kini masuk kategori industri sunset. Kontribusinya terhadap PDB turun dari sekitar 0,7 persen menjadi hanya 0,36 persen. Investasi juga sangat kecil: investasi domestik hanya sekitar 1 persen, sedangkan asing 0,02 persen.
Ia menambahkan, meski produksi kayu tumbuh, industri pengolahan seperti gergajian dan kayu lapis terus merosot. Para pakar menegaskan perlunya reformasi regulasi, peningkatan investasi, serta strategi baru menjaga keberlanjutan hutan. Mereka sepakat kebijakan saat ini lebih banyak melayani birokrasi ketimbang mendorong kesejahteraan masyarakat dan dunia usaha.