REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat Kehutanan, Petrus Gunarso menyoroti laporan investigatif The New York Times tentang keterlibatan industri kendaraan rekreasi (RV) Amerika Serikat dalam deforestasi hutan tropis Kalimantan. Menurut dia hal itu, tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi nyata industri kehutanan Indonesia.
Menurut Petrus, istilah “deforestasi” kerap dipakai secara longgar oleh LSM internasional untuk menggambarkan perubahan tutupan lahan, bahkan ketika hutan alam diganti dengan hutan tanaman industri (HTI).
“Deforestasi itu apa sih? Perubahan tutupan lahan dari hutan ke non-hutan. Kalau dari hutan alam menjadi monokultur, WWF menyebut tetap deforestasi. Tapi kalau ditanam kembali dengan eukaliptus atau akasia, apa itu masih disebut deforestasi? Di Indonesia, enam tahun sudah bisa dipanen. Di Norwegia atau Amerika, butuh 40 tahun baru bisa ditebang. Konteks tropis dan subtropis berbeda,” ujar Petrus dalam diskusi Forum Wartawan Pertanian, beberapa hari lalu, di Jakarta, dikutip Jumat (12/9/2025).
Petrus menyoroti laporan Earthsight dan Auriga Nusantara yang menyebut perusahaan RV AS menggunakan kayu lauan dari Kalimantan yang terkait deforestasi. Ia menegaskan, kayu itu kemungkinan besar berasal dari Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), hasil tebangan saat pembukaan lahan untuk HTI.
“Itu sisa-sisa HTI, dijual lalu diolah. Legal karena ada IPK. Tapi laporan itu digambarkan seolah hutan alam ditebang habis-habisan untuk pasok Amerika. Padahal kenyataannya tidak begitu,” tegasnya.
Ia menambahkan, sektor kehutanan Indonesia tengah menghadapi kemunduran serius. Dari sekitar 550 Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di era 1990-an, kini tersisa sekitar 200. Produksi kayu hutan alam turun drastis menjadi 1,6 juta meter kubik per tahun — bahkan tidak cukup untuk kebutuhan Jakarta saja.
“Kalau tujuan laporan itu membunuh industri kayu, mungkin berhasil. Tapi tanpa laporan pun, industri kita sudah megap-megap. Dengan izin yang berlapis, konflik lahan yang tak terselesaikan, dan profitabilitas rendah, sektor ini makin tidak menarik bagi investor,” jelasnya.
Petrus juga menyinggung klaim NGO tentang keanekaragaman hayati Indonesia. “Indonesia mega-biodiversity, tapi yang dijual tetap jati, meranti, atau rimba campuran. Kalau konsisten, mestinya semua jenis dipasarkan. Tapi pasar tidak menyerap. Tuduhan soal DNA ramin pun dulu pernah bikin heboh, padahal ramin memang dilarang ditebang,” katanya.
Ia menekankan, publik internasional harus menafsirkan laporan The New York Times dengan hati-hati. Narasi “rekreasi merusak hutan tropis” bisa menciptakan persepsi negatif, padahal yang diekspor hanyalah kayu hasil pembersihan lahan.
“Kalau kayu itu dari IPK, ya legal. Tidak seharusnya dibesar-besarkan seolah bencana ekologis besar. Industri kehutanan bermasalah, tapi menyamakan semua aktivitas kayu dengan deforestasi jelas menyesatkan,” tuturnya.
Guru Besar IPB University, Sudarsono Sudomo menilai aturan di sektor kehutanan kerap menambah biaya tanpa memberi manfaat nyata bagi pelaku usaha. “Setiap aturan hampir pasti menimbulkan biaya. Kalau manfaatnya lebih besar, tentu tidak masalah. Tapi umumnya lebih banyak biayanya daripada keuntungan yang didapat,” katanya.
Ia mencontohkan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang menurutnya tidak dirasakan petani. “Kalau ditanya sertifikat SVLK, rata-rata petani tidak tahu di mana sertifikatnya. Tidak ada manfaat nyata bagi mereka,” jelasnya.
Sudarsono menegaskan, pengusahaan hutan alam tidak otomatis menyebabkan deforestasi. “Hutan alam renewable secara biologis, tapi belum tentu secara finansial. Pengusaha tidak mungkin menebang semua karena biaya investasi tinggi. Asal tidak diganggu, hutan bisa pulih sendiri,” paparnya.
Ia menambahkan, tren industri kehutanan sejak 1990 terus menurun. Jumlah perusahaan dan luas areal hutan yang dikelola menyusut tajam. “Belum ada bukti di dunia ini pengusahaan hutan alam yang benar-benar berhasil. Tanpa investasi baru, industri kehutanan akan berakhir,” kata Sudarsono