Selasa 16 Sep 2025 09:50 WIB

Industri Kehutanan Dinilai Hadapi Tantangan Serius

Industri kehutanan salah satu penyumbang pendapatan negara

Rep: Frederikus Bata/ Red: Intan Pratiwi
Petani gaharu mengamati lahan pohon gaharu di Desa Tanjung Belit, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, Rabu (11/12/2024). Pohon Gaharu (Aquilaria malaccensis) merupakan salah satu tanaman yang dimanfaatkan warga setempat untuk dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Kayu gaharu tersebut dapat dijumpai di wilayah hutan hujan tropis seperti di Indonesia, Bangladesh, Bhutan, India, Iran, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, dan Thailand. Gaharu tersebut biasanya digunakan untuk bahan dasar parfum, obat batuk, anti jamur dan insektisida dengan harga jual sekitar Rp4 juta per kilogram. Budidaya pohon gaharu tersebut merupakan bagian dari program YAPEKA dalam konsorsium Konservasi Rimbang Baling bersama Masyarakat yang Berdaulat (Kerabat)  untuk meningkatkan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat sekitar selain tanaman komiditi karet.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Petani gaharu mengamati lahan pohon gaharu di Desa Tanjung Belit, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, Rabu (11/12/2024). Pohon Gaharu (Aquilaria malaccensis) merupakan salah satu tanaman yang dimanfaatkan warga setempat untuk dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Kayu gaharu tersebut dapat dijumpai di wilayah hutan hujan tropis seperti di Indonesia, Bangladesh, Bhutan, India, Iran, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, dan Thailand. Gaharu tersebut biasanya digunakan untuk bahan dasar parfum, obat batuk, anti jamur dan insektisida dengan harga jual sekitar Rp4 juta per kilogram. Budidaya pohon gaharu tersebut merupakan bagian dari program YAPEKA dalam konsorsium Konservasi Rimbang Baling bersama Masyarakat yang Berdaulat (Kerabat) untuk meningkatkan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat sekitar selain tanaman komiditi karet.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-- Sektor kehutanan Indonesia kini menghadapi tantangan serius dan dinilai masuk kategori sunset industry. Kontribusinya terhadap perekonomian semakin menurun, investasi seret, sementara regulasi justru dianggap lebih membebani ketimbang mendukung pelaku usaha.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menegaskan kontribusi industri kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) turun drastis dari 0,7 persen menjadi hanya 0,36 persen.

“Kontribusi investasi domestik di sektor kehutanan hanya sekitar 1 persen, sementara asing hanya 0,02 persen. Ini menunjukkan rendahnya minat investasi. Padahal kalau dikelola optimal, sektor kayu bisa jadi pengungkit ekonomi,” ujarnya dalam diskusi Forum Wartawan Pertanian bertema Ketelusuran Industri Kayu Indonesia: Tantangan dan Solusi di Jakarta, pekan lalu, dikutip Senin (15/9/2025).

Huda mencatat, meskipun produksi kayu tumbuh, industri pengolahan seperti gergajian dan kayu lapis justru menurun. Kinerja ekspor pun melemah dalam empat tahun terakhir, meski sempat naik pada dekade sebelumnya.

Pakar kehutanan IPB, Sudarsono Sudomo, menyoroti aspek regulasi yang dinilai menambah biaya tanpa manfaat signifikan. Ia mencontohkan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang tidak dirasakan manfaatnya oleh petani maupun pengusaha kecil.

“Setiap aturan hampir pasti menimbulkan cost. Kalau manfaatnya lebih besar dari beban, tentu bisa diterima. Tapi dalam kenyataannya, aturan sering kali lebih mahal daripada manfaatnya. Rata-rata petani hanya mengurus SVLK kalau ada yang membantu, bahkan banyak yang tidak tahu di mana sertifikatnya,” jelas Sudarsono.

Menurutnya, pengusahaan hutan alam bukan penyebab utama deforestasi. Alih fungsi lahan untuk perkebunan atau kegiatan non-kehutanan jauh lebih dominan. “Hutan alam itu renewable secara biologis, tapi belum tentu secara finansial. Masalahnya ada pada insentif ekonomi dan investasi yang sangat kecil dibanding sektor perkebunan atau perikanan,” tambahnya.

Data menunjukkan, sejak 1990 hingga 2023, jumlah perusahaan, luas areal, dan produksi kayu terus menurun. Dari sekitar 600 unit usaha di hutan alam, kini hanya tersisa sekitar 250 perusahaan aktif.

Di sisi lain, pengamat kehutanan Petrus Gunarso, menilai kampanye internasional kerap membingkai kayu asal Indonesia secara berlebihan. Ia mencontohkan pemberitaan The New York Times yang menyoroti pasokan kayu Indonesia untuk industri RV di Amerika Serikat.

“Yang diekspor ke Amerika kebanyakan justru kayu sisa (IPK) dari land clearing HTI. Itu legal, tapi dibingkai seolah-olah pembalakan liar besar-besaran,” ujar Petrus.

Menurutnya, perbedaan definisi deforestasi antara lembaga internasional dan kondisi riil di lapangan juga menjadi masalah. “Kalau dari hutan alam menjadi hutan tanaman, apakah itu deforestasi? Bagi WWF, iya. Padahal secara produksi, hutan tanaman justru bisa lebih cepat tumbuh, misalnya eukaliptus yang dalam enam tahun sudah bisa dipanen,” katanya.

Para narasumber sepakat bahwa tanpa reformasi regulasi dan dukungan investasi, sektor kehutanan akan terus terpuruk. Industri kayu yang dulu menjadi salah satu penopang ekonomi kini kehilangan daya tarik dan tidak lagi mampu bersaing dengan sektor perkebunan atau perikanan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement