Ahad 07 Sep 2025 13:35 WIB

Harga Emas Dunia Makin Mengilap, Pengamat Prediksi Tembus 3.700 Dolar AS per Troy Ons Akhir 2025

Data tenaga kerja AS, kebijakan The Fed, hingga perang dagang jadi katalis penguatan.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Pengamat memprediksi harga emas dunia terus menguat hingga akhir 2025. (ilustrasi)
Foto: Dok Freepik
Pengamat memprediksi harga emas dunia terus menguat hingga akhir 2025. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat mata uang dan komoditas, Ibrahim Assuaibi, memprediksi harga emas dunia terus menguat hingga akhir 2025. Ia memproyeksikan harga emas bisa menembus level 3.700 dolar AS per troy ons di pengujung tahun.

Ibrahim menjelaskan, pada penutupan pasar Sabtu (6/9/2025) pagi, harga emas dunia berada di level 3.587 dolar AS per troy ons. Secara teknikal, ada kemungkinan besar harga kembali menguat ke level 3.615 dolar AS per troy ons.

Baca Juga

Ia memproyeksikan dalam perdagangan Senin (8/9/2025), harga emas berpotensi muncul di level 3.613 dolar AS per troy ons. Jika tembus level itu, sepanjang September–Oktober harga diperkirakan bisa menyentuh 3.670 dolar AS per troy ons, lalu berlanjut ke 3.700 dolar AS per troy ons.

“3.700 dolar per troy ons kemungkinan besar akan dicapai hingga akhir tahun ini berdasarkan teknikal mingguan dan bulanan,” kata Ibrahim dalam keterangan suara kepada wartawan, Ahad (7/9/2025).

Sentimen Penggerak Harga Emas

Menurut Ibrahim, ada sejumlah faktor yang mendorong kenaikan harga emas:

- Data tenaga kerja AS melemah. Ekonomi hanya menambah 22 ribu lapangan kerja pada Agustus 2025, jauh di bawah perkiraan 75 ribu. Tingkat pengangguran naik menjadi 4,3 persen dari 4,2 persen.

- Ekspektasi pemangkasan suku bunga AS. Kondisi itu memunculkan peluang Federal Reserve menurunkan suku bunga pada pertemuan 16–17 September.

- Kondisi politik AS. Gubernur Federal Reserve Lisa Cook mengajukan banding atas pemecatan oleh Presiden AS Donald Trump, sementara Trump sendiri mengajukan banding atas putusan ilegalitas perang dagang.

- Konflik dagang AS–India. India menolak dominasi dolar AS dan lebih banyak menggunakan mata uang regional BRICS, memicu ancaman tarif 100 persen dari AS.

- Tensi geopolitik Rusia–Ukraina. Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan Nato dan AS jangan ikut campur, dengan ancaman serangan besar-besaran jika konflik berlanjut.

- Ketegangan di Timur Tengah. AS menolak pemberian visa bagi 60 pejabat Palestina untuk sidang PBB, sementara separuh wilayah Gaza dikuasai Israel, memicu kecaman Mesir dan Qatar.

- Pembelian emas oleh China dan India. Kedua negara terus menumpuk logam mulia sebagai cadangan devisa, seiring potensi konfrontasi AS–China terkait Taiwan dan Laut China Selatan.

“Ketika tensi geopolitik memanas, perang dagang meningkat, dan ekspektasi pemangkasan suku bunga menguat, emas akan terus menjadi pilihan utama investor,” ujar Ibrahim.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement