REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kepala Departemen Ekonomi Keuangan Inklusif dan Hijau Bank Indonesia (BI) Anastuty mengatakan pihaknya terus memperkuat kebijakan ekonomi keuangan inklusif. Saat ini, kontribusi UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 60–64 persen, dengan 97 persen pekerja terserap di sektor tersebut, di mana 80 persen di antaranya berasal dari kalangan perempuan.
“Kebijakan ini ditujukan untuk menciptakan demand bagi lembaga pembiayaan agar dapat menyalurkan kredit kepada UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah) yang membutuhkan,” ujar Anastuty dalam agenda Peluncuran Amartha Financial Group di Jakarta, Selasa (26/8/2025).
BI memiliki 2.500 UMKM binaan, dengan 50 persen di antaranya didirikan oleh perempuan, serta 90 kelompok subsisten di seluruh Indonesia dengan total hampir dua ribu anggota. Mayoritas anggota tersebut adalah perempuan dengan persentase 69 persen.
Dalam program pengembangan UMKM, BI memiliki kerangka kerja ekonomi keuangan inklusif yang terdiri atas tiga pilar, yakni peningkatan daya saing UMKM, akses keuangan, serta peningkatan literasi dan inklusi keuangan.
Pengembangan UMKM dilakukan untuk mendukung tujuan utama BI dalam menjaga inflasi dan memperbaiki neraca perdagangan melalui pembinaan UMKM sektor pangan.
BI memberikan pembinaan agar UMKM dapat meningkatkan usaha, sehingga memiliki daya saing untuk melakukan ekspor yang kemudian berkontribusi positif terhadap neraca perdagangan.
Melalui program UMKM Go Ekspor, UMKM Hijau, dan UMKM Go Digital, BI memberikan kesempatan kepada lembaga pembiayaan untuk berinvestasi pada UMKM yang membutuhkan, sekaligus mengenalkan pelaku usaha pada e-commerce dan platform pembayaran digital.
Aplikasi Sistem Informasi Aplikasi Pencatatan Informasi Keuangan (SIAPIK) yang dibuat BI juga diperkenalkan untuk membantu pelaku UMKM membuat catatan sederhana keuangan sehari-hari.
Lebih lanjut, Anastuty menyampaikan keberadaan QRIS juga mempermudah UMKM dalam melakukan transaksi. Hingga kini, terdapat 57 juta pengguna QRIS, dengan 39,3 juta di antaranya UMKM.
Peluncuran QRIS Cross Border di Jepang, Singapura, Malaysia, Thailand, serta fase sandbox di China semakin mempermudah wisatawan melakukan transaksi sehingga mendorong UMKM lebih mudah diakses pembeli luar negeri.
Dalam akses keuangan, bank umum masih memimpin penyaluran pembiayaan sebesar 98,4 persen, sedangkan sisanya berasal dari financial technology (fintech) sebanyak 1,6 persen.
Kendati porsi masih kecil, tren penyaluran pembiayaan fintech dinilai cukup baik, yakni tumbuh 36,8 persen year on year (yoy). Artinya, masih ada ruang besar untuk berkembang.
Di sisi lain, penyaluran kredit dari bank umum disebut mengalami penurunan signifikan, sehingga menghambat pertumbuhan UMKM. Kondisi ini membuat para pelaku usaha menahan diri melakukan ekspansi bisnis.
“Banyak hal yang menyebabkan penurunan ini. Dari sisi demand, kita tahu ekonomi sedang lesu, kemudian daya beli masyarakat juga sedang melemah,” ujarnya.
Untuk mendukung business matching antara UMKM dan lembaga pembiayaan, BI mempunyai program Survei Database Profil Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Potensial Dibiayai (BISAID).
“Kami punya program yang mungkin tidak dimiliki kementerian atau lembaga lain, yakni memberikan akses keuangan kepada UMKM ini. Kami ajak 314 UMKM binaan dari 10 lembaga keuangan, dan hasilnya alhamdulillah terjadi business matching pembiayaan sebesar Rp 320 miliar,” kata Anastuty.
Kolaborasi dan sinergi antar pemangku kepentingan turut dilakukan BI melalui Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) untuk mendorong literasi keuangan.
“Kita bisa bilang bahwa piloting project kepada 2.500 UMKM itu dapat dijadikan contoh untuk pengembangan UMKM atau subsisten lain di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, kami sangat terbuka untuk melakukan kolaborasi dan sinergi,” ujar Anastuty.