REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menilai kontraksi tajam penerimaan pajak menjadi indikasi langsung perlambatan ekonomi nasional. Menurutnya, pelemahan ini disebabkan menurunnya kinerja tiga sumber utama penerimaan negara, yakni Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Pajak kenapa turun? Itu karena ekonomi kita sejujurnya melambat. Kemarin ada data BPS, makanya kita sebut juga anomali. Penjelasan BPS yang mungkin relatif masuk akal secara teknik statistik adalah sumbernya dari PMTB, pembentukan modal tetap bruto, yang sebagian besar untuk investasi peralatan, mesin, alutsista,” kata Eko di Jakarta, Kamis (14/8/2025).
Ia menjelaskan, PPh, terutama PPh badan, terpukul akibat penurunan keuntungan industri dan perusahaan. “Banyak perusahaan keuntungannya tidak lebih baik dari tahun lalu, bahkan turun. PHK meningkat berarti keuntungannya turun dong,” ujarnya.
Untuk PPN, penurunan dipicu melemahnya daya beli. “PPN itu sangat bergantung dari orang mau membeli atau tidak. Karena banyak orang tertekan daya belinya sehingga penjualan rata-rata pada turun, konsumsi turun. Otomatis penerimaan pajaknya juga turun,” kata Eko.
Sementara itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang banyak bersumber dari ekspor komoditas juga tertekan akibat harga komoditas global yang cenderung menurun. “Tiga komponen ini turun dalam waktu bersamaan. Walaupun katanya PMTB naik, pajak tetap nggak bisa meningkat,” ujarnya.
INDEF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2025 tidak akan mencapai 5 persen. “Triwulan III ini akan di bawah 5 persen kemungkinan. Hanya di Triwulan IV momentum itu ada, tapi harus diambil bener-bener secara strategik. Stimulusnya harus dimulai bahkan dari sekarang, bukan nanti menjelang Natal,” kata Eko.
Ia menilai, momentum akhir tahun seperti Natal dan libur tahun baru dapat menjadi pendorong konsumsi, asal pemerintah menyiapkan kebijakan sejak dini. “Jadi masyarakat tidak hanya pulang tapi juga belanja, terutama di daerah, untuk menghidupkan ekonomi di daerah,” ujarnya.
Eko mengkritik strategi stimulus pemerintah yang terlalu menyebar. “Masalahnya stimulus kita banyak jenisnya, kurang duitnya. Jadi ya Rp20 triliun, ini bukan berarti angka kecil, tapi disebar ke terlalu banyak aspek. Harusnya hanya tiga aja: perbaiki daya beli, ciptakan lapangan kerja, dan jaga stabilitas harga. Yang lainnya biarkan mekanisme pasar bekerja,” katanya.
Ia menilai sebagian stimulus diarahkan ke sektor yang tidak berdampak berkelanjutan. “Liburan dikasih stimulus memang bisa meningkatkan ekonomi, tapi enggak sustain. Kalau industri yang dikasih stimulus, beda rasanya. Ekonomi akan beda,” ujarnya.
Eko juga menyoroti lemahnya stabilitas harga pangan, khususnya beras, meski pemerintah mengklaim cadangan besar. “Katanya cadangan beras kita 4 juta ton, tapi kok harga beras naik? Orang yang punya duit aja nyari harga beras premium di minimarket susah sekarang,” katanya.
Menurutnya, harga pangan yang stabil lebih penting daripada sekadar besarnya cadangan. “Buat apa cadangan besar kalau harganya terus-terusan naik? Yang dimakan rakyat itu beras di pasar, bukan yang di cadangan. Jadi harus pastikan harganya stabil,” ujarnya.
Eko menekankan, menjaga daya beli, menciptakan lapangan kerja, dan menahan inflasi pangan menjadi prioritas utama jika pemerintah ingin mendorong pertumbuhan di tengah pelemahan penerimaan negara.
