Selasa 15 Jul 2025 17:15 WIB

Ekonom: Diversifikasi Ekspor ke Eropa Jadi Jurus Hadapi Tarif Dagang AS

Langkah ini dinilai strategis demi kurangi ketergantungan pada pasar tunggal.

Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/4/2025). Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pengiriman produk Indonesia ke luar negeri tidak terlalu bergantung pada pasar Amerika Serikat (AS). Nilai ekspor Indonesia ke AS menyumbang 2,2 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dalam segi skala, pasar AS hanya berkontribusi 17 persen dari total nilai perdagangan Indonesia. Presiden Amerika Serikat Donald Trump, menangguhkan kenaikan tarif resiprokal selama 90 hari untuk puluhan negara, termasuk Indonesia yang sebelumnya terkena sebesar 32 persen.
Foto: Republika/Prayogi
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/4/2025). Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pengiriman produk Indonesia ke luar negeri tidak terlalu bergantung pada pasar Amerika Serikat (AS). Nilai ekspor Indonesia ke AS menyumbang 2,2 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dalam segi skala, pasar AS hanya berkontribusi 17 persen dari total nilai perdagangan Indonesia. Presiden Amerika Serikat Donald Trump, menangguhkan kenaikan tarif resiprokal selama 90 hari untuk puluhan negara, termasuk Indonesia yang sebelumnya terkena sebesar 32 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Mirae Asset Rully Arya Wisnubroto menilai diversifikasi pasar ekspor Indonesia ke Uni Eropa (UE) menjadi salah satu upaya mitigasi menghadapi ketidakpastian terkait tarif impor yang bakal diterapkan Pemerintah Amerika Serikat (AS).

“Kita berharap akan meningkat kerja samanya, jadi ini lebih ke diversifikasi,” kata Head of Research & Chief Economist Mirae Asset itu di Jakarta, Selasa.

Adapun harapan terkait peningkatan kerja sama dan relaksasi sejumlah aturan untuk melakukan ekspor ke kawasan Eropa ini menyusul Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA) yang akhirnya disepakati setelah 10 tahun negosiasi.

Menurut Rully, nilai ekspor Indonesia ke Eropa saat ini masih bisa ditingkatkan lagi, terutama dengan komoditas-komoditas yang berpeluang besar masuk ke pasar tersebut.

Hal ini mengingat nilai pasar ekspor Indonesia paling banyak masih dipegang oleh China, AS, hingga India.

“Ke Eropa (ekspor) belum terlalu banyak. Jadi memang hal ini juga bisa memitigasi ketika ekspor ke depan ke AS akan turun, atau akan beralih, diversifikasi ke negara-negara Eropa,” kata Rully.

“Untuk negara-negara lainnya (di Uni Eropa) juga mungkin masih perlu banyak ditingkatkan, karena (ekspor ke) Eropa sendiri juga belum terlalu besar. Apalagi kita juga seringkali terkait dengan ekspor-ekspor yang diberi sanksi sama Eropa,” imbuhnya.

Meski peluangnya besar, Rully menilai penjajakan ekspor ke pasar Eropa masih memerlukan waktu agar dapat berjalan dengan efektif dan berdampak signifikan untuk Indonesia.

Hal ini mengingat kebutuhan komoditas ke Eropa yang mungkin berbeda dengan barang-barang Indonesia yang biasanya diekspor ke AS.

Overall sebenarnya ini harus membutuhkan waktu juga, yang mungkin tidak akan cuma satu tahun, mungkin lebih dari dua tahun, lebih dari setahun yang bisa lebih efektif,”ujar Rully.

“Lagi pula, biasanya juga keperluan ke Eropa juga beda dengan Amerika. Amerika banyak ke barang-barang seperti baju dan sepatu, sementara ke Eropa itu lebih banyak ke bahan-bahan mentah, CPO terutama,” tambahnya.

Rully mengatakan dampak dari perdagangan ke Eropa ini masih memerlukan kajian lebih lanjut menyusul progres ke depan.

“Jadi mungkin impact-nya masih perlu dikaji, dilihat dalam beberapa tahun ke depan, seberapa efektif. Jadi itu mungkin akan kembali dievaluasi lagi,” ujarnya.

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement