Selasa 15 Jul 2025 14:16 WIB
Kasus Beras Premium Oplosan

Celios Ungkap Faktor Munculnya Beras Oplosan

Praktik campur beras disebut strategi kelabu agar tetap patuh HET tapi untung tinggi.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Gita Amanda
Pembeli mengecek kualitas beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Senin (14/7/2025). Masyarakat diimbau lebih waspada dalam membeli beras, hal ini menyusul temuan Kementerian Pertanian terkait 212 merek beras yang beredar di pasaran diduga melakukan pengoplosan, pelanggaran standar mutu, berat, hingga harga eceran tertinggi (HET).
Foto: Republika/Prayogi
Pembeli mengecek kualitas beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Senin (14/7/2025). Masyarakat diimbau lebih waspada dalam membeli beras, hal ini menyusul temuan Kementerian Pertanian terkait 212 merek beras yang beredar di pasaran diduga melakukan pengoplosan, pelanggaran standar mutu, berat, hingga harga eceran tertinggi (HET).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyoroti maraknya kembali praktik beras oplosan di tengah tren kenaikan harga beras. Ia menilai fenomena ini merupakan siasat para pelaku usaha agar tetap meraih margin keuntungan tinggi tanpa melanggar ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET).

“Beras oplosan bukan praktik yang baru, terutama saat harga beras kembali naik. Pengoplos ingin marginnya tetap tinggi dan patuh HET, tapi harga gabahnya kan sudah naik,” ujar Bhima saat dihubungi Republika di Jakarta, Selasa (15/7/2025).

Baca Juga

Bhima menyebut, kebijakan pemerintah yang membeli gabah seharga Rp 6.500 per kilogram (kg) tanpa memperhatikan kualitas turut menjadi pemicu. Menurutnya, kondisi ini mendorong pelaku usaha untuk mencampur beras medium dengan kualitas lain guna mengejar volume.

“Selain faktor pengawasan, ada juga pemicu dari program pembelian gabah pemerintah Rp 6.500 per kg tanpa memperhatikan kualitas. Akhirnya beras mediumnya dicampur dengan beras kualitas lain,” sambung Bhima.

Ia menegaskan, praktik semacam ini sangat merugikan konsumen. Oleh karena itu, Bhima mendorong pemerintah untuk tidak hanya tegas dalam memberikan sanksi kepada para pelaku, tetapi juga membenahi kebijakan di sektor hulu.

“Yang dirugikan jelas konsumen. Jadi, pemerintah harus tegas soal sanksi terhadap pengoplos beras—mulai dari pencabutan izin usaha sampai sanksi pidana. Tapi di sisi lain, benahi juga akar masalah dari sisi kebijakan perberasan di hulu,” tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement