Selasa 01 Jul 2025 17:30 WIB

Neraca Dagang Surplus, Rupiah Menguat

Terdapat sentimen eksternal yang menopang rupiah.

Karyawan menghitung uang dolar AS di gerai penukaran mata uang asing VIP (Valuta Inti Prima) Money Changer, Jakarta, Selasa (17/10/2023).
Foto: Republika/Prayogi
Karyawan menghitung uang dolar AS di gerai penukaran mata uang asing VIP (Valuta Inti Prima) Money Changer, Jakarta, Selasa (17/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar AS pada penutupan perdagangan Selasa (1/7/2025), didorong oleh surplus neraca perdagangan Indonesia. Rupiah ditutup naik 39 poin atau 0,24 persen ke level Rp16.200 per dolar AS, dari sebelumnya Rp16.238 per dolar AS.

Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia juga menunjukkan penguatan ke posisi Rp16.192 per dolar AS, dibanding hari sebelumnya sebesar Rp16.231 per dolar AS.

Baca Juga

Analis mata uang dan Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuabi mengatakan penguatan rupiah tak lepas dari kinerja neraca perdagangan Indonesia yang mencatat surplus 4,3 miliar dolar AS pada Mei 2025.

“Neraca perdagangan Indonesia telah mencatat surplus selama 61 bulan berturut-turut sejak Mei 2020,” kata Ibrahim dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (1/7/2025).

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, surplus pada Mei 2025 terutama ditopang oleh komoditas nonmigas seperti lemak dan minyak nabati atau hewani, bahan bakar mineral, serta besi dan baja, dengan total nilai 5,83 miliar dolar AS. Sementara itu, komoditas migas masih mengalami defisit sebesar 1,53 miliar dolar AS.

Secara kumulatif, neraca perdagangan Januari–Mei 2025 mencatat surplus sebesar 15,38 miliar dolar AS, didorong oleh surplus nonmigas senilai 23,10 miliar dolar AS, meski neraca migas masih defisit 7,72 miliar dolar AS.

Ibrahim menambahkan, sentimen eksternal lain yang turut menopang rupiah adalah kekhawatiran pasar terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) pemotongan pajak di Amerika Serikat. Aturan baru yang disetujui Senat AS itu dinilai bisa memperbesar defisit fiskal hingga 3,8 triliun dolar AS.

RUU setebal 940 halaman bertajuk "One Big Beautiful Bill Act" tersebut memperpanjang pemotongan pajak era Trump dan meningkatkan anggaran militer serta keamanan perbatasan. Namun, untuk menyeimbangkan anggaran, pemerintah AS memangkas alokasi untuk Medicaid, kupon makanan, energi terbarukan, dan program kesejahteraan sosial lainnya.

“Investor khawatir bahwa pemotongan pajak yang agresif, dipadukan dengan pengurangan belanja sosial, dapat menggerus disiplin fiskal dan memicu inflasi jangka panjang,” ujar Ibrahim.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement