REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketegangan geopolitik di Timur Tengah, khususnya akibat konflik Israel-Iran, telah mendorong lonjakan harga minyak dunia lebih dari 10 dolar AS dalam sepekan terakhir. Kondisi ini dinilai menguntungkan negara eksportir seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) yang tengah mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui sektor minyak dan gas (migas).
“Ekonomi UEA diperkirakan akan mempertahankan momentum pertumbuhan yang kuat, didorong oleh peningkatan produksi minyak dan aktivitas nonmigas yang solid, yang ditopang oleh kebijakan fiskal yang longgar,” ujar Ekonom kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA), James Swanston dari Capital Economics, seperti dikutip dari Zawya, Sabtu (21/6/2025).
Arab Saudi sebelumnya telah mendesak Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+) untuk meningkatkan produksi, mengakhiri kebijakan pemangkasan sukarela yang telah berlangsung selama lima tahun terakhir. Langkah ini diperkirakan akan berdampak langsung terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).
“Keluaran minyak yang lebih tinggi kemungkinan besar akan mendorong pertumbuhan PDB, tetapi juga dapat menutupi perlambatan di sektor nonmigas akibat kebijakan konsolidasi fiskal yang lebih ketat,” jelas Swanston.
Dalam beberapa tahun terakhir, PDB sektor nonmigas Arab Saudi tumbuh rata-rata sekitar 7 persen. Namun, tekanan fiskal dan reformasi anggaran diprediksi akan membatasi laju pertumbuhan sektor ini di masa mendatang.
Laporan Capital Economics juga mencatat bahwa peningkatan harga dan volume produksi minyak berpotensi mempercepat laju pertumbuhan di negara-negara Teluk secara keseluruhan. Sebaliknya, negara-negara pengimpor minyak di kawasan MENA seperti Yordania dan sejumlah negara di Afrika Utara diperkirakan menghadapi tekanan ekonomi yang lebih berat jika konflik meluas dan harga minyak terus meningkat.
“Lonjakan harga minyak akibat ketegangan kawasan dan potensi intervensi militer oleh Amerika Serikat dapat semakin mendorong harga ke level yang lebih tinggi,” tulis laporan tersebut.
Kenaikan harga minyak memberi keunggulan fiskal jangka pendek bagi negara produsen. Namun, kondisi ini juga berisiko memperlebar ketimpangan ekonomi kawasan. Ketika Saudi dan UEA memperkuat posisi sebagai pusat pertumbuhan energi, negara-negara pengimpor dihadapkan pada ancaman melemahnya cadangan devisa dan meningkatnya biaya energi domestik.