REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyarankan pemerintah Indonesia untuk segera mengamankan pasokan minyak bumi dan gas alam guna mengantisipasi potensi dampak dari eskalasi konflik antara Iran dan Israel.
“Pemerintah perlu mengamankan pasokan minyak bumi dan gas bagi Indonesia dengan memperbaiki kontrak dengan mitra dagang kita,” ujar Wijayanto di Jakarta, Jumat (21/6/2025).
Meski harga minyak global saat ini masih relatif stabil, ia mengingatkan bahwa risiko ketidakpastian tetap tinggi. Berdasarkan data perdagangan Jumat (20/6) pukul 14.53 WIB, harga minyak mentah Brent tercatat di level 72,16 dolar AS per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) berada di 73,92 dolar AS per barel.
“Harga minyak relatif stabil meskipun terjadi perang besar di Timur Tengah yang berpotensi mengganggu harga energi global. Iran menyumbang 1,5 persen produksi minyak dunia dan 6,5 persen gas alam, sementara Selat Hormuz melayani sekitar 20 persen ekspor impor minyak dan 30 persen gas alam dunia,” jelasnya.
Wijayanto memperkirakan konflik tersebut tidak akan meluas lebih jauh karena tiga kekuatan besar dunia—Amerika Serikat, Rusia, dan China—telah menyatakan tidak akan terlibat secara langsung.
Namun demikian, ia tetap mengingatkan bahwa potensi dampak terhadap ekonomi nasional tidak bisa disepelekan. Gangguan pada rantai pasok minyak dan gas dunia dapat menekan ekspor Indonesia, terutama sektor komoditas, sehingga memperburuk neraca transaksi berjalan dan menekan nilai tukar rupiah.
“Jika konflik bereskalasi dan menghambat suplai energi global, pertumbuhan ekonomi dunia bisa terganggu. Ini akan berdampak pada penurunan volume dan harga komoditas ekspor Indonesia, menurunkan kinerja neraca transaksi berjalan, dan memperlemah rupiah,” ucapnya.
Karena itu, Wijayanto menekankan pentingnya optimalisasi kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) untuk memperkuat cadangan devisa nasional sebagai amunisi Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar.
Ia juga mengingatkan agar pemerintah mengkaji ulang proyek-proyek besar yang menyerap anggaran tinggi namun tidak mendesak. “Proyek besar boros anggaran perlu dikalibrasi ulang dan disesuaikan dengan kapasitas fiskal. Jangan sampai beban fiskal semakin berat untuk hal-hal yang penting tetapi tidak urgent,” tutupnya.