Selasa 17 Jun 2025 15:52 WIB

Sri Mulyani: Perang Iran–Israel Picu Kenaikan Suku Bunga Global

Gejolak geopolitik timur tengah makin ganggu stabilitas ekonomi dunia dan Indonesia.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Gita Amanda
Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, menegaskan konflik Iran berdampak langsung terhadap harga komoditas, nilai tukar, dan suku bunga global, yang turut memengaruhi kondisi ekonomi Indonesia.
Foto: BPMI Setpres
Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, menegaskan konflik Iran berdampak langsung terhadap harga komoditas, nilai tukar, dan suku bunga global, yang turut memengaruhi kondisi ekonomi Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perang antara Iran dan Israel yang sedang berlangsung saat ini menambah tekanan besar terhadap perekonomian global maupun domestik. Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, menegaskan konflik tersebut berdampak langsung terhadap harga komoditas, nilai tukar, dan suku bunga global, yang turut memengaruhi kondisi ekonomi Indonesia.

“Perang yang sekarang ini sedang berlangsung makin sengit antara Israel dengan Iran telah menyebabkan, pada hari pertama, harga minyak naik lebih dari delapan persen,” ujar Sri Mulyani saat memaparkan Kinerja APBN Mei 2025, Selasa (17/6/2025).

Baca Juga

Harga minyak jenis Brent sempat menyentuh 78 dolar AS per barel, naik hampir sembilan persen dari sebelumnya yang berada di bawah 70 dolar AS. Lonjakan harga ini menciptakan tekanan inflasi global di tengah proyeksi pelemahan ekonomi dunia.

Sri Mulyani menilai, kondisi tersebut membuat arah dan kecepatan penurunan suku bunga global menjadi tidak menentu. “Suku bunga akan tertahan tinggi, padahal tadinya kita perkirakan 2025 seharusnya sudah mulai mengalami penurunan,” ujarnya.

Menurut dia, kombinasi tekanan dari disrupsi geopolitik dan kebijakan fiskal ekspansif negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, mendorong suku bunga tetap tinggi dan mengacaukan ekspektasi pelonggaran moneter. “Kenaikan yield apakah karena geopolitik atau karena kebijakan fiskal, kedua hal ini berdampak ke seluruh dunia, termasuk Indonesia,” tegasnya.

Situasi semakin kompleks karena inflasi global cenderung naik akibat lonjakan harga komoditas, sementara pertumbuhan ekonomi global justru diprediksi melemah. “Ini kombinasi yang harus kita waspadai karena tidak baik. Pelemahan ekonomi berdampak buruk, memicu inflasi, dan menimbulkan kenaikan yield,” ungkap Sri Mulyani.

Dampaknya tercermin dalam indeks PMI manufaktur global yang turun ke angka 49,6, zona kontraktif terendah sejak Desember 2024. Indonesia pun terdampak, dengan indeks manufakturnya hanya berada di angka 47,4. “Artinya, kegiatan sektor manufaktur secara global cenderung kontraktif,” kata Sri Mulyani.

Di sisi fiskal, ketidakpastian global tersebut turut mengganggu asumsi makro dalam APBN 2025. Pemerintah sebelumnya mengasumsikan suku bunga SBN 10 tahun sebesar 7 persen, namun posisi akhir Mei hanya berada di angka 6,89 persen. Sementara itu, nilai tukar rupiah menembus Rp 16.237 per dolar AS, lebih lemah dari asumsi Rp 16.000.

“APBN terus bekerja keras dalam rangka memitigasi situasi yang terus bergejolak dan berkembang,” tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement