Jumat 06 Jun 2025 06:14 WIB

Aturan Baru OJK Soal Asuransi Kesehatan, Pemegang Polis Ikut Tanggung 10 Persen dari Total Klaim

Pemegang polis diwajibkan menanggung sebagian pembiayaan layanan kesehatan.

Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA FOTO
Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan (SEOJK 7/2025). Regulasi ini memperkenalkan skema pembagian risiko (co-payment) dan coordination of benefit (CoB) guna memperkuat industri asuransi kesehatan nasional.

Plt Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, menyampaikan bahwa implementasi SEOJK 7/2025 diharapkan mampu meningkatkan tata kelola, pelindungan konsumen, serta efisiensi dalam ekosistem asuransi kesehatan.

Baca Juga

"Secara umum, SEOJK 7/2025 mengatur lebih lanjut mengenai kriteria perusahaan asuransi yang dapat menyelenggarakan lini usaha asuransi kesehatan, termasuk penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang memadai," ujar Ismail di Jakarta, Kamis (5/6/2025).

Ia menegaskan bahwa aturan ini berlaku untuk produk asuransi kesehatan komersial dan tidak mencakup skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan.

Aturan baru ini ditujukan agar setiap pihak dalam ekosistem asuransi kesehatan dapat memberikan nilai tambah dalam efisiensi biaya layanan kesehatan jangka panjang, mengingat tren inflasi medis yang cenderung lebih tinggi dari inflasi umum.

Salah satu poin utama dalam SEOJK 7/2025 adalah penerapan skema co-payment dan CoB oleh perusahaan asuransi konvensional maupun syariah.

Dalam skema co-payment, pemegang polis diwajibkan menanggung sebagian pembiayaan layanan kesehatan, minimal sebesar 10 persen dari total klaim rawat jalan atau rawat inap. Namun, OJK menetapkan batas maksimal tanggungan pribadi sebesar Rp 300 ribu untuk klaim rawat jalan dan Rp 3 juta untuk klaim rawat inap.

Adapun skema CoB memungkinkan koordinasi pembiayaan apabila pelayanan dilakukan berdasarkan skema JKN BPJS Kesehatan, dengan tujuan mencegah duplikasi pembayaran klaim.

Ismail menjelaskan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong penggunaan layanan medis dan obat yang lebih tepat guna dan berkualitas. Di sisi lain, mekanisme ini diharapkan dapat menekan potensi kenaikan premi.

"Berdasarkan pengalaman di berbagai negara, termasuk Indonesia, mekanisme co-payment atau deductible akan mendorong peningkatan awareness pemegang polis atau tertanggung dalam memanfaatkan layanan medis," tutur Ismail.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement