Kamis 08 May 2025 07:17 WIB

BI Wanti-Wanti Dampak PHK Terhadap Penurunan Daya Beli Masyarakat

Banyaknya PHK akan berdampak pada pergerakan tingkat pertumbuhan ekonomi.

Rep: Eva Rianti/ Red: Friska Yolandha
Pekerja menyeberang pelican crossing saat jam pulang kerja di kawasan Sudirman, Jakarta, Senin (5/5/2025). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tambahan orang yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Februari 2025 bertambah sebanyak 83.450 orang dibandingkan Februari 2024. Dengan tambahan tersebut, jumlah total pengangguran di Indonesia sebanyak 7,28 juta orang.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pekerja menyeberang pelican crossing saat jam pulang kerja di kawasan Sudirman, Jakarta, Senin (5/5/2025). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tambahan orang yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Februari 2025 bertambah sebanyak 83.450 orang dibandingkan Februari 2024. Dengan tambahan tersebut, jumlah total pengangguran di Indonesia sebanyak 7,28 juta orang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia (DPMA BI) Erwin Gunawan Hutapea menanggapi tentang isu maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah industri di Indonesia. Ia mewanti-wanti bahwa fenomena PHK bisa menekan daya beli masyarakat, yang secara tidak langsung bisa memengaruhi volatilitas nilai tukar rupiah. 

“Pastinya daya beli akan terpengaruh, konsumsi turun. Konsumsi domestik sebagai salah satu motor pendorong pertumbuhan di tengah ekspor yang tidak seperti dulu lagi tentu akan berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi,” kata Erwin dalam agenda Taklimat Media BI bertajuk ‘Asesmen Perekonomian Terkini dan Efektivitas Kebijakan Moneter Pro-market untuk Stabilisasi Nilai Tukar Rupiah’ di Kompleks BI, Jakarta, Rabu (7/5/2025).

Baca Juga

Erwin menerangkan, banyaknya PHK lebih signifikan akan berdampak pada pergerakan tingkat pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 sendiri sudah tercatat melambat di angka 4,87 persen, lebih rendah dibandingkan konsensus di angka 4,92 persen. 

Kondisi itu makin tertekan dengan dihadapkan pada tantangan global atas kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang tengah bergulir saat ini. Kebijakan tersebut membuat banyak negara ‘putar otak’ termasuk Indonesia dengan melakukan negosiasi karena cukup besar implikasinya pada aktivitas ekspor. Melahirkan pasar baru tujuan ekspor pun menjadi salah satu opsi yang kebanyakan negara ingin lakukan. 

“Untuk beberapa komoditas yang bisa dengan cepat melakukan adjustment untuk mencari negara tujuan ekspor baru tentu itu akan dilakukan oleh para eksportir, tapi untuk yang enggak mudah perlu waktu. Sehingga implikasinya kemudian pertanyaan ekonominya, korporasi masih mampu enggak dengan penjualan yang mulai terpengaruh, masih mampu enggak nahan beban yang ada. Kalau enggak mampu kan akan terjadi PHK,” jelasnya. 

Erwin melanjutkan, bahwa BI turut berupaya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Ia menekankan bahwa BI juga memiliki pertimbangan untuk melakukan langkah yang strategis, kaitannya dengan arah kebijakan suku bunga. 

“Suku bunga sebagai respons kebijakan untuk membuka ruang pertumbuhan ekonomi tentunya salah satu hal yang dipertimbangkan oleh BI,” jelasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement