Kamis 24 Apr 2025 20:56 WIB

Ekonom Ingatkan Negosiasi dengan AS Jangan Korbankan Neraca Dagang

Lonjakan impor dari AS hingga 60 persen dapat menghapus surplus dagang.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Satria K Yudha
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/4/2025). Presiden Amerika Serikat Donald Trump, menangguhkan kenaikan tarif resiprokal selama 90 hari untuk puluhan negara, termasuk Indonesia yang sebelumnya terkena sebesar 32%. Melalui penundaan ini, untuk sementara Indonesia hanya akan dikenakan tarif dasar sebesar 10% seperti negara lainnya. Namun, kebijakan penundaan tarif baru selama 90 hari ini tidak berlaku untuk China.
Foto: Republika/Prayogi
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/4/2025). Presiden Amerika Serikat Donald Trump, menangguhkan kenaikan tarif resiprokal selama 90 hari untuk puluhan negara, termasuk Indonesia yang sebelumnya terkena sebesar 32%. Melalui penundaan ini, untuk sementara Indonesia hanya akan dikenakan tarif dasar sebesar 10% seperti negara lainnya. Namun, kebijakan penundaan tarif baru selama 90 hari ini tidak berlaku untuk China.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rencana pemerintah Indonesia yang menawarkan peningkatan impor dari Amerika Serikat hingga 18 miliar dolar AS sebagai bagian dari strategi meredakan tekanan tarif dinilai perlu dikaji lebih cermat. Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengingatkan agar strategi diplomasi dagang jangan melemahkan posisi ekonomi nasional.

“Meskipun diplomasi ekonomi aktif merupakan bagian penting dari strategi luar negeri bebas-aktif Indonesia, pemerintah tidak boleh mengorbankan keseimbangan neraca dan ketahanan industri nasional demi mendapatkan perlakuan tarif lebih ringan dari AS,” ujar Syafruddin dalam keterangannya, Kamis (24/4/2025).

Baca Juga

Menurutnya, berdasarkan laporan Country Report 2025, lonjakan impor dari AS hingga 60 persen dapat menghapus surplus dagang Indonesia, memperbesar defisit transaksi berjalan, serta menggeser pemasok lama dan industri domestik. Ia juga menyoroti potensi dampak dari rencana pelonggaran kebijakan, termasuk penghapusan persyaratan kandungan lokal dan kuota impor.

“Rencana pelonggaran kebijakan seperti penghapusan TKDN dan kuota impor pun berpotensi merusak agenda industrialisasi nasional jika tidak dilandasi kebijakan perlindungan strategis,” tegasnya.

Dalam situasi tekanan global dan arah unilateralisme AS yang kian memaksa, kata Syafruddin, Indonesia harus tetap menegaskan posisinya. “Indonesia perlu menegaskan bahwa keterbukaan bukan berarti tunduk. Pemerintah harus merumuskan kebijakan yang menjaga daya saing nasional dan memastikan bahwa setiap konsesi dagang dibalas dengan akses pasar dan keuntungan nyata bagi ekonomi domestik,” ujarnya.

Ia menambahkan, prinsip timbal balik harus menjadi dasar dalam setiap perundingan. “Negosiasi internasional harus berpijak pada prinsip resiprositas, bukan rasa takut kehilangan pasar,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa Indonesia tetap menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar lima persen pada 2025, meski Dana Moneter Internasional (IMF) telah merevisi proyeksinya menjadi 4,7 persen. Pemerintah juga berkomitmen membuka ruang negosiasi tarif dengan AS, termasuk dengan menawarkan tambahan impor senilai 18 miliar dolar AS.

Strategi ini disertai dengan langkah deregulasi dan upaya menjaga daya beli domestik. Namun, laporan Country Report menyoroti perlunya diversifikasi pasar ekspor dan penguatan industri dalam negeri agar target jangka menengah sebesar delapan persen pertumbuhan ekonomi pada 2029 tetap tercapai.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement