REPUBLIKA.CO.ID, JAKATA -- Pusat Pelindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PVTPP), Kementerian Pertanian menggelar forum komunikasi publik Standar Pelayanan Publik Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dan RIPH bawang putih. Kegiatan yang berlangsung di Bogor ini diharapkan bisa membuat pelaku usaha paham proses penerbitan RIPH.
Kementan melalui Pusat PVTPP dan seluruh pemangku kepentingan terus berkomitmen meningkatkan kualitas layanan perizinan pertanian. Bahkan Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman selalu mengingatkan bahwa pelayanan perizinan pertanian harus terus ditingkatkan, sehingga ke depan mampu memenuhi harapan masyarakat Indonesia.
Kepala Pusat PVTPP, Leli Nuryati mengatakan, sesuai amanat Undang-undang No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pusat PVTPP sebagai penyelenggara pelayanan publik telah menyusun, menetapkan Standar Pelayanan Publik (SPP) yang menjadi tolak ukur dan pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan dalam penilaian kualitas pelayanan.
Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri PAN-RB No.15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan, setiap standar pelayanan yang telah disusun perlu dilakukan perbaikan secara berkelenjutan sesuai hasil pemantauan dan evaluasi sebagai upaya peningaktan kualitas dan inovasi pelayanan publik.
“Jadi penting peran aktif masyarakat dalam proses penyusunan SPP untuk mewujudkan transparansi dan efektivitas dalam meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanan perizinan pertanian,” kata Leli.
Ketua Kelompok Perijinan PPVTPP, Dwi Harteddy mengatakan, dalam menyusun standar pelayanan ada beberapa hal menjadi perhatian pemerintah. Diantaranya, bagaimana SPP tersebut sederhana, sehingga pelaku usaha, khususnya yang baru, mudah memahami.
Selain, SPP bersifat partisipatif. Karena itu, pihaknya mengundang stakeholder dan perwakilan media massa untuk memberikan masukan dalam penyusunan SPP. Kemudian, SPP juga harus akuntabilitas sebagai bentuk jaminan kepada pelaku usaha.
Menurut Dwi, SPP juga harus berkelanjutan. Artinya, SPP dapat berubahan dengan mengacu regulasi yang ada, dan bukan harga mati. SPP juga bersifat transparansi dan berkeadilan. “SPP ini pelu kami sampaikan ke pelaku usaha, bagaimana peryaratan dan prosedur dalam mengajukan perijinan, seperti RIPH ini,” ujarnya.
Dalam SPP menurut Dwi, ada standar yang harus dipenuhi. Pertama, service delivery yakni, persyaratan, prosedur, jangka waktu penyelesaian, biaya/tarif, produk pelayanan dan penaganan pengaduan, saran dan masukan.
Kedua, manufacturing yang terkait dasar hukum, sarana dan perasarana kompetensi pelaksanaan, pengawasan internal, jumlah pelaksana, jaminan pelayanan, jaminan keamanan, keselamatan pelayanan, serta evaluasi kinerja pelaksnaan. “Kami secara rutin melakukan evalusai srandara pelayanan. Biasanya yang banyak pertanyaan adalah persyaratan dan jangka waktu pelayanan,” ujarnya.
Sementara itu Ketua Tim Kerja Pelayanan Perijinan Ditjen Hortikultura, Syaefuddin mengatakan, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 61 Tahun 2024 telah menetapkakn neraca komoditas (NK). Penetapan NK ini dilakukan paling lambat pada minggu pertama Desember melalui Rakortas dengan Menko Pangan.
“Artinya penetapan volume bukan hanya dari Kementerian Pertanian, tapi lintas kementerian yang dipimpimpin Menko Pangan,” katanya. Dalam Rakortas, pemerintah telah menetapkan bawang putih termasuk dalam komoditas strategis.
Khusus untuk RIPH bawang putih, penerbitan RIPH tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku yakni Permentan No. 39 Tahun 2019 dan Permentan No. 01 Tahu 2020 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura dan Permentan No. 46 Tahun 2019 tentang Pengembangan Komoditas Hortikultura Strategis.
“Dalam Rakortas 9 Desember 2024, pemerintah telah menetapkan kuota bawang putih sebanyak 550 ribu ton untuk tahun 2025. Setelah verifikasi rencana kebutuhan dilakukan Kementan, ternyata tidak sampai 2 minggu, volume sudah terpenuhi,” tuturnya.
Jadi sesuai Perpres tentang NK, penetapan impor bawah putih melalui aplikasi SINAS NK. Dengan demkian setiap pelaku usaha yang mengajukan permintaan ijin impor harus melalui http//neraca-komoditas.isnw.go.id.
Namun demikian menurut Syaefuddin, kebijakan wajib tanam bagi importir bawang putih tetap berlaku. Jadi sebelum mengirimkan pengajuan ijin impor ke INSW, pelaku usaha harus mengisi aplikasi SIAP wajib tanam 5 persen, setelah itu baru masuk ke INSW, kemudian ke SINAS NK.
“Bagi pelaku usaha agar memperhatikan betul dokumen perysratan agar tidak bolak balik mengajukan. Apalagi untuk impor bawang putih banyak pelaku usaha yang mengajukan izin,” tegasnya.