Jumat 18 Apr 2025 11:10 WIB

Pemerintah Perlu Peta Jalan yang Jelas Pertahankan Industri Tekstil

Harus ada strategi yang dilakukan agar Indonesia bisa mencari pasar ekspor lain.

Diskusi The Trump Effect and The Future of Indonesian Textile: Geopolitics, Human Resources, Export Opportunities, and The Challenge of Illegal Imports di Indo Intertex 2025, Kamis (17/4/2025).
Foto: Dok Republika
Diskusi The Trump Effect and The Future of Indonesian Textile: Geopolitics, Human Resources, Export Opportunities, and The Challenge of Illegal Imports di Indo Intertex 2025, Kamis (17/4/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri tekstil dalam negeri dinilai dalam permasalahan serius. Tak sedikit pabrik bertumbangan karena tak kuat mempertahankan produksinya di tengah serbuan impor tekstil dari berbagai negara khususnya China.

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengatakan, saat ini berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sering kali bukan karena kebutuhan sebagai bangsa, tapi sekedar kebijakan populis. Alhasil, kebijakan yang ada bukan berdasarkan rencana jangka panjang demi kesejahteraan masyarakat.

Baca Juga

Itu juga yang sekarang terasa di industri tekstil, di mana dalam beberapa tahun terakhir sejumlah kebijakan tak memberi dampak positif pada sektor ini. Itu terlihat dari ambruknya industri tekstil yang kemudian mengharuskan pabrik kecil hingga besar gulung tikar.

"Sekarang ini banyak masterplan yang tidak jelas. Misalkan ada Peraturan Pemerintah (PP) kemudian turun jadi peraturan menteri (Permen) atau lainnya, tapi tidak ada yang tahu karena belum tentu dijalankan dengan benar," kata Agus dalam diskusi "The Trump Effect and The Future of Indonesian Textile: Geopolitics, Human Resources, Export Opportunities, and The Challenge of Illegal Imports" di Indo Intertex 2025, Kamis (17/4/2025).

Menurutnya, sejumlah industri termasuk tekstil di Indonesia sekarang sedang tertekan karena tidak ada upaya pasti dari pemerintah agar sektor tersebut mampu bertahan atau tumbuh di tengah persaingan global. Alhasil sejumlah negara yang dulu kalah oleh Indonesia sekarang jadi pesaing ketat.

Hal yang harus dilakukan pemerintah sekarang adalah membuat peta jalan lebih jelas untuk keberlangsung industri tekstil, sehingga pabrik yang ada saat ini bisa bersaing dengan industri dari luar negeri. Jangan sampai keabaian pemerintah semakin membuat industri tekstil perlahan makin sedikit jumlahnya dari dalam negeri.

Sementara itu, Akademisi Tekstil dari Politeknik STTT Bandung, Dr. Gunawan mengatakan, adanya kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang memberlakukan kenaikan tarif impor dari sejumlah negara termasuk Indonesia jelas akan memberikan dampak pada industri tekstil. Apalagi Amerika selama ini menjadi salah satu negara dengan pengiriman produk tekstil terbesar dari dalam negeri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per 2023, nilai ekspor pakaian jadi mencapai Rp 10,34 triliun. Dari nilai tersebut Amerika menempati negara terbesar dengan capai 54 persen. Kenaikan tarif impor pun diprediksi akan memengaruhi jumlah ekspor produk TPT ke Negeri Paman Sam tersebut.

Dengan kondisi ini, maka harus ada strategi yang dilakukan agar Indonesia bisa mencari pasar ekspor lain khususnya kawasan Eropa. Dengan tidak adanya perang tarif dari kawasan tersebut, ini jadi peluang yang harus bisa dimaksimalkan.

Di sisi lain, agar produk Indonesia bisa bersaing, ada sejumlah catatan yang harus bisa diselesaikan bersama. Misalnya, persoalan struktur biaya terbesar untuk industri rayon, poliester, dan nilon kurang lebih bahan baku 40-50 persen dan energi gas 20-30 persen.

"Bahan baku dan energi gas alam tertentu menjadi krusial pada semua industri serat tersebut dan sangat menentukan harga jual akhir," papar Gunawan.

Kemudian, pemerintah juga harus membantu industri dalam peremajaan mesin. Sebab peremajaan atau restrukturisasi mesin sangat berkaitan dengan produktivitas, efisiensi, kualitas, konsumsi energi, teknologi proses, inovasi produk, pengurangan biaya produksi dan teknologi industri 4.0.

Gunawan menilai bahwa Industri TPT Indonesia pada dasarnya telah mampu membuat berbagai jenis produk tekstil namun demikian ada beberapa kain khusus yang tidak dapat di buat misalnya protective fabric yaitu kain yang berfungsi untuk melindungi dari zat kimia berbahaya, panas, radiasi, dan lainnya, tinggal bagaimana intervensi teknologi, riset, mesin, dan SDM perlu dikembangkan lagi.

"Sedangkan pada industri hilir sangat berkaitan kaitan dengan penyerapan tenaga kerja dan mudah berpindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Isu upah menjadi salah satu topik yang penting dan sensitif untuk diperhatikan pada titik ini dibutuhkan keseimbangan antara kepetingan tenaga kerja dan perusahaan," ungkapnya.

Dalam diskusi ini, pengamat politik-ekonomi Ichsanuddin Noorsy juga menyoroti blue print sektor perindustrian Indonesia karena tidak ada yang bisa menjelaskan secara rinci akan seperti apa. Dengan adanya gejolak ekonomi secara global, seharusnya Indonesia bisa tahu akan melakukan apa sehingga industri dalam negeri tetap bisa bersaing dengan banyak negara yang punya produk serupa termasuk di bidang tekstil.

Dengan adanya perang dagang sekarang, pemerintah harus mencari apa yang menjadi kehebatan Indonesia. Ini penting sehingga terdapat nilai jual yang bisa menjadi daya tarik produk dalam negeri, tapi belum tentu dimiliki negara lain.

Dia pun menyoroti omongan Presiden Prabowo yang dianggap tumpang tindih di mana Indonesia harus menjadi negara kuat dan mandiri, tapi justru siap membuka keran impor besar-besaran hingga menghilangkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).

"Jangan sampai kebijakan kita ini didikte oleh negara lain, ditekan agar tidak tumbuh. Makan perencanaan dan inovasi ini harus diperbaiki sehingga kebijakan itu yang memang bisa memecahkan masalah kebutuhan nasional," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement