Selasa 29 Jul 2025 16:24 WIB

Tarif Resiprokal 19 Persen Selamatkan Industri TPT Indonesia

Kesepakatan ini cegah lonjakan beban tarif ekspor hingga di atas 50 persen.

Pekerja mengoperasikan mesin untuk memproduksi pakaian rajut di Sentra Rajut Binong Jati, Bandung, Jawa Barat, Senin (6/1/2025). Kementerian Perindustrian menargetkan sektor industri  kimia, farmasi dan tekstil didorong untuk tumbuh dari 6,59 persen pada tahun 2025, 7,97 persen pada tahun 2027, dan 7,59 persen pada tahun 2029.
Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Pekerja mengoperasikan mesin untuk memproduksi pakaian rajut di Sentra Rajut Binong Jati, Bandung, Jawa Barat, Senin (6/1/2025). Kementerian Perindustrian menargetkan sektor industri kimia, farmasi dan tekstil didorong untuk tumbuh dari 6,59 persen pada tahun 2025, 7,97 persen pada tahun 2027, dan 7,59 persen pada tahun 2029.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyebut, kesepakatan tarif resiprokal sebesar 19 persen antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) telah menyelamatkan industri padat karya nasional, khususnya sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, mengungkapkan bahwa hasil negosiasi tarif 19 persen telah mencegah lonjakan beban tarif impor yang sebelumnya sempat diterapkan Presiden AS Donald Trump sebesar 32 persen.

Baca Juga

“Tarif itu ada tarif Most Favoured Nation (MFN), tarif normal, tarif resiprokal, dan tarif sektoral. Yang kita omongin berbulan-bulan hanya tarif resiprokal, itu tambahan ke MFN. Bayangkan kalau produk pakaian jadi kita, katakanlah biaya masuknya 20 persen, ketambahan 32 persen, di atas 50 persen. Itu mematikan ekspor kita,” jelasnya dalam acara Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025 di Jakarta, Selasa.

Sebagaimana diketahui, tarif resiprokal sebesar 19 persen nantinya akan dijumlahkan dengan tarif MFN. Tarif MFN sendiri merupakan bea masuk standar yang dikenakan suatu negara terhadap barang impor dari negara lain yang menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Kesepakatan tarif 19 persen ini dianggap sebagai hasil yang menyelamatkan sekitar tiga juta pekerja di industri TPT dari ancaman kehilangan pekerjaan. Industri ini merupakan bagian dari keseluruhan sektor padat karya yang menopang sekitar 12 juta tenaga kerja di Indonesia.

Menurut Susi, sapaan akrabnya, penetapan tarif itu juga datang pada saat yang sangat tepat, mengingat karakter industri fesyen yang bersifat musiman.

Tanpa kepastian tarif pada pertengahan Juli lalu, banyak produsen tekstil nasional akan kehilangan kesempatan untuk mengamankan pesanan untuk musim semi (spring season).

"Bayangkan kalau Bapak Presiden (Prabowo) belum sepakat dengan Trump, enggak ada kepastian Indonesia kena tarif berapa, bisa jadi order para perusahaan ekspor di Indonesia lari ke beberapa negara yang sudah jelas tarifnya. Contohnya di mana? Vietnam, walaupun dia (tarifnya) 20 persen," ujar Susi.

"Kalau 15 Juli kemarin kita belum memutuskan, (pengusaha) enggak akan berani bikin order, karena enggak tahu Indonesia dikasih (tarif) berapa. Jadi blessing-nya kemarin, terlepas perdebatan ini paling rendah atau apa, tapi memberikan kepastian," tambahnya.

Sebagaimana diketahui, selain soal tarif, kesepakatan dagang Indonesia-AS juga mencakup komitmen pembelian sejumlah produk asal AS. Di antaranya pembelian energi sebesar 15 miliar dolar AS, produk pertanian senilai 4,5 miliar dolar AS, serta pembelian 50 unit pesawat Boeing, sebagian besar model Boeing 777.

Susi menilai, kesepakatan ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tarif impor yang kompetitif di pasar AS, memberikan keunggulan tersendiri di tengah ketatnya persaingan global di sektor industri padat karya.

Meski telah menyepakati tarif resiprokal sebesar 19 persen, pemerintah Indonesia saat ini masih melanjutkan proses negosiasi lanjutan dengan pihak AS. Upaya ini difokuskan untuk menurunkan tarif impor sejumlah komoditas strategis agar bisa berada di bawah 19 persen.

Negosiasi lanjutan menyasar berbagai komoditas yang pada dasarnya tidak dapat diproduksi sendiri oleh AS, sehingga memiliki ketergantungan tinggi terhadap impor dari negara lain, termasuk Indonesia. Di antara komoditas yang menjadi fokus ialah produk-produk sumber daya alam unggulan Indonesia seperti kelapa sawit, kopi, kakao, dan produk agro lainnya.

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement