REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Laporan Bloomberg mengungkap orang-orang kaya Indonesia memindahkan aset ratusan juta dolar AS ke luar negeri. Hal ini disinyalir karena meningkatnya kekhawatiran atas disiplin fiskal Presiden RI Prabowo Subianto dan stabilitas ekonomi nasional. Menanggapi hal itu, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai fenomena tersebut amat memilukan.
“Tindakan ini bukan sekadar pelarian modal biasa, melainkan tamparan keras terhadap semangat nasionalisme dan tanggung jawab sosial para pemilik modal. Lebih dari itu, ini adalah bentuk ketidakloyalan terhadap upaya bangsa Indonesia menjaga stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian global,” kata Achmad dalam keterangannya, Sabtu (12/4/2025).
Achmad menjelaskan, berdasarkan data Bloomberg, arus keluar dana dari Indonesia meningkat signifikan sejak Oktober 2024. Terutama setelah rupiah terjun bebas pada Maret 2025. Seorang bankir swasta mengungkap, kliennya yang memiliki kekayaan bersih 100–400 juta dolar AS bahkan mengalihkan 10 persen portofolio mereka ke aset kripto.
Sementara itu, firma penasihat keuangan melaporkan pemindahan dana ke Dubai dan Abu Dhabi mencapai 50 juta dolar AS pada Februari 2025. Angka tersebut naik lima kali lipat dibandingkan kuartal sebelumnya.
“Fakta ini menunjukkan betapa sistemiknya praktik pelarian modal yang dilakukan elite ekonomi Indonesia,” ujarnya.
Laporan tersebut menimbulkan rasa penasaran di tengah publik, mengenai siapa orang-orang tersebut. Achmad mengatakan, meski laporan Bloomberg tidak menyebutkan siapa, namun menurutnya hal itu bisa diprediksi. Menurutnya, orang-orang kaya tersebut adalah konglomerat komoditas yang sekaligus bermain di sektor finansial.
“Para pengusaha yang dimaksud bisa jadi adalah segelintir elite bisnis Indonesia yang menguasai sektor ekspor komoditas primer, seperti kelapa sawit, batu bara, nikel, atau karet, dan memiliki jaringan keuangan internasional. Mereka adalah pemilik perusahaan-perusahaan raksasa yang menggurita di sektor perdagangan, perkebunan, pertambangan, serta perbankan atau investasi,” ujar Achmad.
Kelompok orang-orang kaya tersebut dinilai akrab dengan transaksi lintas negara, memiliki akses ke pasar modal global, dan terbiasa membuka rekening di bank luar negeri. Bisa juga menggunakan instrumen kompleks, seperti derivatif, hedge fund, dan mata uang kripto.
“Identitas mereka sebenarnya mudah dilacak karena lingkaran pengusaha yang bermain di dua sektor sekaligus (komoditas dan finansial) sangat terbatas,” ungkapnya.
Achmad menyebut, misalnya konglomerat pemilik tambang batu bara atau nikel yang juga menguasai perusahaan pembiayaan di Singapura, atau eksportir sawit dengan anak usaha di sektor perbankan offshore. Transaksi ekspor-impor mereka tercatat di Bea Cukai, sementara aliran dananya terekam di bank sentral atau lembaga keuangan internasional.
“Keterlibatan mereka dalam skema pemindahan dana ke luar negeri seringkali terlihat dari pola transaksi yang tidak wajar, seperti pembayaran ekspor yang 'ditahan' di rekening luar negeri atau penggunaan perusahaan cangkang di negara tax haven,” jelasnya.
Lebih lanjut, Achmad menduga mereka adalah aktor yang selama ini diuntungkan oleh kebijakan ekonomi Indonesia, tetapi justru menjadi pihak pertama yang kabur ketika risiko membayang. Ironisnya, meski bisnisnya bergantung pada sumber daya alam Indonesia, loyalitas mereka justru mengarah ke pasar global.
Achmad menilai alasan para pelaku, seperti kekhawatiran terhadap disiplin fiskal pemerintahan Prabowo, ketidakstabilan politik, atau keinginan melindungi aset, tidak bisa dibenarkan. Tindakan mereka justru akan memperburuk kondisi. Menurut hematnya, ketika kondisi rupiah melemah, pelarian modal dalam skala besar seperti ini ibarat menusuk jantung perekonomian sendiri.
“Setiap dolar yang dipindahkan ke luar negeri mengurangi cadangan devisa, melemahkan nilai tukar rupiah, dan memicu inflasi yang memberatkan 270 juta rakyat Indonesia,” ungkapnya.
Achmad mengatakan, mungkin saja para orang-orang kaya tersebut berdalih bahwa itu adalah hak properti pribadi. Namun, ketika kekayaan itu dihasilkan dari sumber daya Indonesia, tenaga kerja Indonesia, dan kemudahan bisnis di Indonesia, maka tanggung jawab moral untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional seharusnya menjadi prioritas.
“Alih-alih berkontribusi, mereka memilih lari dari masalah, meninggalkan rakyat kecil menanggung dampak kebijakan fiskal yang mereka kritik,” tegasnya.