Selasa 08 Apr 2025 17:25 WIB

Sri Mulyani Minta Masyarakat tak Khawatir dan Jamin Defisit ABPN Tidak Jebol

Menurut Sri, target defisit APBN 2025 dijaga di kisaran 2,5 persen terhadap PDB.

Menkeu Sri Mulyani berpidato dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025).
Foto: YouTube PerekonomianRI
Menkeu Sri Mulyani berpidato dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) Indonesia pada 2025, dalam batas aman. Dia memastikan APBN tak akan jebol dan mengimbau rakyat termasuk pelaku pasar untuk tidak khawatir dengan kondisi perekonomian Indonesia.

"Jangan khawatir, tidak jebol APBN-nya," kata Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025).

Menurut dia, semua kebijakan dan pembiayaan yang dilakukan pemerintah sudah terukur. "Program Bapak Presiden ada di dalam ruang APBN yang sudah ada. Pembangunan desa, termasuk koperasi desa ada di APBN, lalu Danantara yang di-establish termasuk penggunaan dividennya itu sudah kita perhitungkan," ucap Sri.

Menurut Sri, target defisit APBN 2025 akan tetap dijaga di kisaran 2,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau sekitar Rp 616,2 triliun. Dia menyebut, angka defisit itu akan terus terjaga dengan realisasi belanja negara sesuai target Rp 3.621,3 triliun dan pendapatan negara Rp 3.005,1 triliun.

Sri juga mengomentari keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald John Trump untuk menerapkan tarif baru kepada puluhan negara, termasuk Indonesia. Sri menilai, keputusan Presiden Trump tidak memiliki dasar ekonomi.

"Tarif resiprokal yang disampaikan oleh AS terhadap 60 negara menggambarkan cara perhitungan tarif tersebut, yang saya rasa semua ekonom yang sudah belajar ekonomi tidak bisa memahami," ucap Sri.

Selain itu, Sri menilai, kebijakan tarif sebesar 32 persen untuk Indonesia lebih didasarkan pada kepentingan Trump agar perdagangan AS tidak defisit dengan negara-negara lain. Atas dasar itu, tarif resiprokal yang dibebankan ke sejumlah negara tidak memiliki landasan ekonomi.

"Itu artinya saya tidak ingin tergantung atau beli kepada orang lain lebih banyak dari apa yang saya bisa jual kepada orang lain. It is purely transactional, tidak ada landasan ilmu ekonominya," tutur Sri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement