REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami kejatuhan yang dalam hingga memicu trading halt pada perdagangan perdana usai libur panjang Idulfitri 1446 Hijriyah/2025 Masehi pada Selasa (8/4/2025). Pengamat mengkritisi bahwa kemerosotan IHSG tak sekedar faktor global, imbas penerapan tarif Trump, tetapi juga kondisi internal yang tidak cukup kuat.
“Pertanyaan kritis tetap menganga, mengapa IHSG jatuh lebih dalam dibandingkan bursa saham regional seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand? Jawabannya tidak hanya terletak pada guncangan global, tetapi pada kerapuhan struktural pasar keuangan Indonesia dan sikap reaktif otoritas yang abai membangun ketahanan sistemik,” kata Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat dalam keterangannya, Selasa (8/4/2025).
Menurut catatannya, IHSG pada pembukaan perdagangan hari ini mengalami anjlok hingga 9,19 persen, sehingga terjadi penghentian perdagangan sementara atau trading halt. Adapun pada 7 April 2025, tercatat sejumlah bursa saham di berbagai negara juga mengalami koreksi, namun tidak lebih dalam dibandingkan Indonesia.
Seperti Pasar Saham Singapura (STI) mengalami koreksi 6,22 persen, Bursa Saham Kuala Lumpur (KLSE) memerah hingga 4,37 persen, Bursa Efek Thailand (SET) turun 3,15 persen, dan Bursa Efek Kota Ho Chi Minh (HOSE) hanya turun 1,18 persen.
Kemudian Nikkei 225 Tokyo tercatat terkoreksi 6,29 persen, Bursa Efek Shanghai (SSE) turun 3,93 persen, KOSPI memerah 4,47 persen, dan Hang Seng terkoreksi 8,5 persen. Hanya Bursa Efek Taiwan (Talex) yang ‘kebakarannya’ lebih dalam dibanding Indonesia, yakni mencapai 9,69 persen.
Achmad mengatakan, penurunan tajam di pasar AS dan Eropa telah terjadi pada Senin (7/4/2024), menjadi pemicu awal kepanikan di Asia. Indeks pan-Eropa STOXX 600 anjlok 4,5 persen, disusul penurunan serupa di London (FTSE 100 -4,38 persen) dan Paris (CAC 40 -4,78 persen). Di AS, Dow Jones kehilangan 0,91 persen, meski Nasdaq masih bertahan di wilayah positif.
“Guncangan ini memang berdampak pada pasar Asia, termasuk Indonesia. Namun, klaim bahwa IHSG hanya menjadi ‘korban pasif’ dari gejolak global adalah penyederhanaan yang berbahaya. Faktanya, (dominan) pasar saham regional hanya mengalami koreksi moderat, sementara IHSG terjerembap lebih dalam,” ungkap Achmad.
Menurutnya, hal tersebut mengindikasikan bahwa masalah utama bukan hanya pada arus global, melainkan pada kerentanan spesifik Indonesia. Ia menerangkan, sebagai pasar berkembang (emerging market), Indonesia memang rentan terhadap aliran modal asing yang fluktuatif.
Ketergantungan pada Modal Asing dan Komoditas
Achmad menilai kondisi Indonesia yang lebih rapuh dibandingkan negara-negara ASEAN dikarenakan ketergantungan pada modal asing dan komoditas.
“Penurunan IHSG yang berlebihan ini bisa jadi merupakan manifestasi dari kombinasi berbagai faktor internal yang membuat pasar kita lebih rentan terhadap guncangan,” ujarnya.
Ia menuturkan, salah satu faktor yang patut dicermati adalah komposisi investor di BEI. Dominasi investor ritel yang cenderung lebih mudah panik dan mengikuti sentimen jangka pendek, ditambah dengan porsi investor asing yang signifikan dengan aliran dana bersifat hot money (mudah masuk dan keluar), menciptakan struktur pasar yang kurang stabil.
“Ketika sentimen global memburuk, investor asing cenderung menarik dananya (capital outflow) dari pasar negara berkembang yang dianggap lebih berisiko, sementara investor ritel lokal ikut panik menjual (panic selling), menciptakan efek bola salju yang menekan indeks secara drastis,” tuturnya.
Ia mengatakan, hal itu berbeda dengan pasar lain yang memiliki basis investor institusional domestik yang lebih kuat dan berorientasi jangka panjang, yang bisa berfungsi sebagai penahan (buffer) saat terjadi gejolak.
Selain itu, Achmad melanjutkan, komposisi IHSG yang didominasi sektor komoditas (pertambangan, perkebunan) dan perbankan membuatnya rentan terhadap siklus ekonomi global.
“Sementara negara seperti Vietnam dan Singapura telah mendiversifikasi ekspor dan pasar modal ke sektor teknologi atau jasa keuangan, Indonesia masih terjebak dalam mentalitas ‘ekonomi bahan mentah’. Ketika harga komoditas bergejolak, seperti yang terjadi akhir-akhir ini, IHSG langsung terpukul,” jelasnya.
Achmad mengingatkan bahwa kelambanan otoritas keuangan dalam memperkuat ketahanan pasar menjadi faktor krusial. Menurutnya, para otoritas kerap terjebak dalam pola responsif, bukan preventif.
“Padahal, tanda-tanda tekanan sudah terlihat sejak awal 2025: aliran modal asing mulai berkurang, nilai tukar rupiah berfluktuasi, dan defisit transaksi berjalan melebar. Namun, tidak ada kebijakan sistematis untuk membendung risiko ini,” ujar dia.
Ia mengatakan, kejadian Selasa (8/4/2025) pagi ini harus menjadi lonceng peringatan yang keras. Bahwa mengandalkan circuit breaker saja tidak cukup. Perlu ada evaluasi menyeluruh mengenai akar kerentanan pasar modal Indonesia.
“Pada akhirnya, badai di pasar modal hari ini, meskipun dipicu oleh angin dari luar, mengungkapkan banyak hal tentang kondisi internal rumah kita. Menyalahkan faktor eksternal memang mudah, tetapi berbenah diri dari dalam adalah langkah yang jauh lebih krusial untuk memastikan pasar modal Indonesia tidak hanya mampu bertahan dari guncangan, tetapi juga tumbuh menjadi lebih kuat, stabil, dan kredibel di masa depan,” terangnya.