REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rupiah kembali menyentuh angka lebih dari Rp 16.000 per dolar AS, pada pembukaan perdagangan, Selasa (8/4/2025). Ini mengingatkan pada situasi krisis moneter 1998, di mana rupiah juga menyentuh angka tersebut.
Namun, jika ditilik lebih dalam, keadaannya sangat berbeda. Dosen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Noval Adib mengatakan perbedaan tidak hanya dari nilai nominal, tetapi juga dari purchasing power dan faktor fundamental ekonomi.
Noval mencontohkan pada 1998, dengan Rp 16.000 seseorang bisa membeli 16 porsi soto, sementara di 2025, jumlah itu cukup untuk satu mangkuk saja. Jika dibandingkan dengan harga emas, perbedaan lebih mencolok lagi.
"Kalau mau lebih serius, 1 gram emas di tahun 1998 seharga Rp 75.000, sekarang 1 gram emas Rp 1.800.000. Jadi jauh sekali purchasing power rupiah antara tahun 1998 dan 2025," ujarnya dalam siaran pers, Selasa.

Dari sisi anjloknya, Noval mengatakan, pada krisis 1998 rupiah jatuh drastis dari Rp 2.500 ke Rp 16.000 hanya dalam waktu satu tahun, menciptakan gejolak ekonomi yang menghancurkan banyak sektor. Sebaliknya, pergerakan rupiah dalam beberapa tahun terakhir tetap relatif stabil di angka Rp 14.000–15.000 sebelum akhirnya mencapai Rp 16.000. Penurunan ini lebih seperti menuruni anak tangga dibandingkan jatuh dari ketinggian yang ekstrem seperti di 1998.
Pusat krisis saat ini dibanding tahun 1998 juga berbeda, kata Noval. Krisis 1998 berpusat di Asia, memicu kejatuhan beberapa pemimpin negara, termasuk Presiden Soeharto di Indonesia, serta Presiden Korea Selatan dan PM Thailand. Sementara itu, kondisi ekonomi 2025 dipengaruhi oleh dampak kebijakan Amerika Serikat, seperti perang tarif yang dipicu oleh pemerintahan Trump sebelumnya.
"Namun demikian memang patut dicatat bahwa sebelum Trump memicu perang tarif ini Indonesia memang kondisinya sudah sulit. PHK sudah terjadi dimana-mana sebelum Trump bikin ulah," kata Noval.