REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga 5 persen dalam sehari memicu sorotan terhadap mekanisme pengawasan pasar modal. Pengamat ekonomi Yanuar Rizky menilai volatilitas yang tinggi serta maraknya transaksi short selling menjadi alarm bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Volatilitas IHSG dalam satu tahun terakhir mencapai 34 persen, sementara transaksi T+ short mencapai 27 persen. Seharusnya ada sistem alert investigate untuk mendeteksi pergerakan saham dengan aktivitas intra-day trading (short selling) yang mencurigakan," ujar Yanuar, Selasa (18/3/2025).
Ia juga menyinggung dua saham, DCII dan BREN, yang terus mengalami tekanan short selling dalam jumlah besar. Menurutnya, mekanisme pengawasan yang ada harusnya mampu mendeteksi indikasi manipulasi pasar (Pasal 91 dan 92) serta perdagangan orang dalam (Pasal 95-97).
"Dulu, saat krisis 1998, Indonesia dan Korea Selatan jadi yang paling terdampak karena big short. Sekarang, IHSG kembali dalam tekanan besar, sementara pasar saham Asia lainnya menguat. Ini ujian besar buat OJK," tegasnya.
Ia menekankan dalam MoU OJK-Kapolri, penyidikan pasar modal dilakukan oleh penyidik dari Bareskrim. Dengan kondisi pasar saat ini, menurutnya, OJK harus membuktikan efektivitasnya dalam menegakkan good market governance.
Sebagai respons atas penurunan IHSG yang tajam, Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan sementara perdagangan (trading halt) pada pukul 11:19:31 WIB. Langkah ini diambil berdasarkan Surat Keputusan Direksi BEI Nomor: Kep-00024/BEI/03-2020, yang mengatur penghentian perdagangan jika IHSG turun lebih dari 5 persen.
"Perdagangan akan dilanjutkan pada pukul 11:49:31 WIB tanpa perubahan jadwal," tulis BEI dalam keterangannya.
Anjloknya IHSG kali ini memperkuat kekhawatiran terkait stabilitas pasar modal, terutama di tengah tekanan likuiditas yang bergantung pada pasar Surat Utang Negara (SUN) dan kebijakan moneter global yang semakin ketat.