Rabu 05 Mar 2025 13:40 WIB

14 Ribu PHK Pekerja, Pemerintah Diminta Segera Bertindak

Lebih dari 14 ribu pekerja telah dirumahkan akibat penutupan beberapa pabrik.

Rep: Eva RiantiĀ / Red: Gita Amanda
Buruh dan karyawan mendengarkan pidato dari direksi perusahaan di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Buruh dan karyawan mendengarkan pidato dari direksi perusahaan di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat penutupan pabrik-pabrik di Indonesia menjadi sorotan. Ada puluhan ribu pekerja yang terpaksa kehilangan pekerjaannya. Pemerintah diminta untuk memberi atensi yang tinggi terhadap isu tersebut. 

Anggota Komisi IX DPR RI Alifudin menyampaikan prihatin atas banyaknya pabrik yang tutup dan mem-PHK ribuan pekerjanya. Menurut catatan, beberapa perusahaan yang dilaporkan terpaksa menutup operasionalnya dan merumahkan pekerjanya antara lain PT Sanken Indonesia, PT Yamaha Music Product Asia, PT Tokai Kagu, PT Danbi Internasional Garut, dan PT Bapintri. Dari kelima perusahaan tersebut, ada 3.200 pekerja yang terkena PHK. Lalu, PT Sritex yang menutup pabriknya pada 1 Maret 2025 turut mengumumkan PHK massal terhadap sebanyak 10.969 pekerja. 

 

Alifudin mengungkapkan, total lebih dari 14 ribu pekerja telah dirumahkan akibat penutupan beberapa pabrik tersebut. Ia menyatakan, jumlah tersebut mencerminkan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat, terutama bagi keluarga-keluarga yang bergantung pada pendapatan dari pekerjaan mereka di pabrik-pabrik tersebut.

 

"Ini adalah masalah besar yang memengaruhi tidak hanya pekerja yang dirumahkan, tetapi juga ekonomi lokal dan nasional. Pemerintah harus hadir untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja yang terkena PHK bisa terlindungi dengan baik," kata Alifudin dalam keterangannya, Rabu (5/3/2025). 

 

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut menyayangkan penutupan pabrik-pabrik besar itu terjadi dalam waktu yang berdekatan, sehingga meningkatkan kecemasan tentang gelombang PHK yang lebih luas. 

 

Alifudin mengingatkan bahwa situasi itu bukan hanya berdampak pada pekerja, namun juga berisiko memperburuk kondisi perekonomian Indonesia secara luas. "Jika tidak segera ditangani dengan serius, kondisi ini bisa memicu penurunan daya beli masyarakat dan merugikan perekonomian dalam jangka panjang. Pemerintah harus mampu menciptakan iklim industri yang stabil dan ramah bagi dunia usaha agar tidak terjadi PHK massal yang lebih meluas," tuturnya. 

 

Ia juga mendesak Kementerian Ketenagakerjaan untuk memastikan hak-hak pekerja yang terkena PHK dapat dipenuhi dengan baik dan utuh. Kemenaker harus segera turun tangan untuk memastikan pekerja yang terdampak memperoleh kompensasi yang sesuai, seperti pesangon dan hak-hak lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

 

Alifudin menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses ini untuk mencegah potensi penyalahgunaan hak-hak pekerja. Pemerintah diminta agar segera mengambil langkah-langkah strategis guna melindungi pekerja dan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Ia juga mengajak seluruh pihak, termasuk sektor swasta, serikat pekerja, dan lembaga terkait, untuk bekerja sama dalam mencari solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan ini.

 

Alifudin meminta pula kepada pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap iklim industri Indonesia, dengan melibatkan berbagai pihak terkait, untuk menciptakan kebijakan yang mendukung kelangsungan industri tanpa mengorbankan kesejahteraan pekerja. 

 

"Pemerintah perlu mendorong perkembangan sektor industri yang lebih berkelanjutan dan memperhatikan kepentingan pekerja. Kami tidak bisa membiarkan pabrik-pabrik terus menutup pintunya dan merumahkan ribuan pekerja," terangnya. 

 

Sebagai langkah awal, Alifudin mengusulkan agar pemerintah mengidentifikasi sektor-sektor yang mengalami kesulitan dan memberikan insentif yang tepat untuk mempertahankan operasional pabrik-pabrik tersebut. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement