REPUBLIKA.CO.ID, BOYOLALI -- Petani di Desa Manggis, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, menghadapi tantangan serius terkait harga gabah yang belum memenuhi harapan. Ketua Kelompok Tani di desa tersebut, Jarwanto, menyuarakan keprihatinannya perihal harga jual gabah di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang telah ditetapkan pemerintah.
Jarwanto mengungkapkan saat ini harga gabah yang diterima petani di tingkat penggilingan hanya berkisar Rp 6.000 per kilogram. Harga tersebut lebih rendah dibandingkan HPP yang ditentukan pemerintah melalui hasil keputusan Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) Bidang Pangan, yaitu sebesar Rp 6.500 per kilogram.
“Kami sudah kerja keras di sawah, sudah keluar modal, tetapi ketika pas dijual, harga gabah yang di sini di bawah HPP. Tidak sesuai dengan katanya HPP kemarin, terus bagaimana ini?” ujar Jarwanto melalui keterangan tertulis dari Kementerian Pertanian, Senin (13/1/2025).
Menurutnya, kondisi ini tidak hanya berdampak pada pendapatan petani, tetapi ditakutkan juga menurunkan semangat mereka untuk terus berproduksi. Jika harga gabah berada di bawah HPP, Jarwanto khawatir kesejahteraan petani masih sama seperti sebelumnya.
"Di daerah Boyolali sebentar lagi masuk musim panen, kalau di hari ini ya masih satu dua. Gabah Rp 6.000. Tapi nanti kalau panen raya sekitar 1,5 bulan lagi paling ya sekitar Rp 4.500 sampai Rp 5.000. Biasanya seperti itu. Kami berharap ada pengawasan yang berpihak pada petani kecil, biar sesuai dengan yang disebutkan pemerintah,” ujarnya.
Sebagai Ketua Kelompok Tani, Jarwanto juga menanam jagung di lahan yang dimilikinya. Harga jagung yang dihasilkannya pun masih belum sesuai dengan HPP yang telah ditetapkan pemerintah.
"Harga jagung siap giling itu Rp 4.500, kalau kemarin Menteri Zulkfli Hasan bilang Rp 5.500, (HPP) gabah 6.500, tapi kenyataannya tidak."
Dia berupaya mencari solusi dengan menggandeng pihak koperasi dan kelompok tani lainnya untuk menciptakan alternatif pasar yang lebih menguntungkan bagi para petani. Ia berharap pemerintah bisa membantu meningkatkan posisi tawar petani dalam penjualan gabah.
“Di sini belum ada Bulog, kami di sini jualnya ya ke tengkulak, ya ke penggilingan itu. Kalau Bulog bisa beli hasil panen kami, ya itu lebih baik,” imbuh Jarwanto.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Boyolali, Joko Suhartono menyebutkan banyak alternatif penyebab harga belum sesuai dengan HPP. Menurutnya kesepakatan terdahulu antara petani dengan pembeli, sebelum diumumkan oleh pemerintah turut berpengaruh.
“Ada kemungkinan harga gabah masih sekitar Rp 6.000. Mungkin masih harga lama sesuai kesepakatan mereka (petani dan pembeli) harga sebelum diumumkan oleh pemerintah sehingga kemungkinan jual beli belum bisa dengan harga baru pemerintah,” ujar Joko.
Ia mengatakan pihaknya tengah melakukan langkah cepat untuk mengatasi persoalan harga gabah di wilayahnya. Salah satunya dengan memperketat pengawasan harga di penggilingan melalui koordinasi bersama dengan lintas sektoral seperti BPS dan Perum Bulog setempat.
“Hari ini kita koordinasi dengan lintas sektoral, bersama Kepala BPS dan juga Bulog, memantau langsung kondisi di lapangan dan mengawasi harga gabah petani,” ujar Joko.
Ia optimistis harga gabah petani ke depan akan sesuai dengan HPP dengan kondisi-kondisi yang pro-petani, seperti peran Bulog dalam upaya menjaga stabilitas harga gabah dan melindungi kesejahteraan petani di tengah fluktuasi pasar.
“Bulog bukanlah entitas yang berorientasi pada profit, melainkan lembaga yang ditugaskan untuk menyerap hasil panen petani guna menjaga ketahanan pangan dan stabilitas harga," ujarnya.
Sebagai upaya memperkuat peran tersebut, Joko berpendapat pemerintah dapat hadir di setiap kabupaten/kota memiliki gudang penyimpanan Bulog yang memadai. Keberadaan gudang di setiap daerah dianggap penting untuk mempercepat proses penyerapan hasil panen petani.
“Bulog harus kembali pada tugas utamanya, yakni memastikan hasil panen petani, terutama gabah, diserap dengan harga sesuai HPP. Setiap kabupaten kota diharapkan ada gudangnya” tutur Joko.
Bulog juga diminta untuk meningkatkan koordinasi dengan Dinas Pertanian di tingkat kabupaten dan kota dalam hal pendataan musim tanam dan panen. Kerja sama ini penting agar Bulog memiliki data yang akurat mengenai volume produksi di setiap wilayah, sehingga mampu mempersiapkan langkah-langkah strategis dalam menyerap gabah sesuai kebutuhan pasar.
Langkah-langkah ini diharapkan mampu memutus rantai distribusi yang selama ini merugikan petani. Selama ini, rendahnya posisi tawar petani membuat mereka terpaksa menjual gabah dengan harga di bawah HPP. Dengan peran aktif Bulog yang mematuhi kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah, petani akan mendapatkan jaminan harga yang layak sesuai dengan biaya produksi yang mereka keluarkan.
“Kalau Bulog bisa menyerap hasil panen sesuai HPP, petani tidak lagi harus menjual gabah dengan harga rendah. Ini penting untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan menjaga semangat mereka untuk terus berproduksi,” kata Joko.