REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan memberi sinyal positif peluang bagi Indonesia untuk mengimpor minyak mentah dari Rusia setelah bergabung dengan BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan). Langkah ini dinilai dapat memberikan keuntungan ekonomi, terutama jika harga yang ditawarkan lebih rendah dari pasar internasional.
“Kalau kita dapat lebih murah 20 atau 22 dolar AS kenapa tidak? Tapi tentu hati-hati melihat ini dengan bagus," ujar Luhut di Jakarta, Kamis (8/1/2025).
Menurutnya, keputusan seperti ini harus selalu mempertimbangkan kepentingan Indonesia, serta potensi manfaat yang bisa diperoleh. Sebelumnya, Ekonom dan pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyebut keanggotaan Indonesia dalam BRICS dapat membuka akses strategis terhadap minyak Rusia.
"Keuntungan utama dari perdagangan minyak dengan Rusia adalah potensi harga yang lebih murah dibandingkan harga pasar internasional. Embargo Barat terhadap minyak Rusia membuat negara tersebut menawarkan minyaknya ke pasar non-Barat dengan diskon signifikan," kata Achmad.
Achmad juga menyoroti kerja sama ini berpotensi membantu Indonesia mengurangi defisit neraca perdagangan minyak dan gas (migas) serta menekan biaya energi domestik. Selain itu, peluang kolaborasi di sektor energi seperti investasi infrastruktur, pengembangan teknologi, dan transfer pengetahuan juga terbuka.
Namun, kerja sama ini bukan tanpa risiko. Achmad mengingatkan sanksi Barat terhadap Rusia, termasuk pembatasan akses ke sistem pembayaran global seperti SWIFT, dapat menyulitkan transaksi perdagangan. Indonesia perlu mencari alternatif mekanisme pembayaran, seperti penggunaan mata uang lokal atau sistem pembayaran khusus.
Risiko reputasi juga menjadi perhatian utama. Terlibat dalam perdagangan minyak dengan Rusia dapat memengaruhi hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Barat yang melihat langkah ini sebagai dukungan terhadap Rusia.
"Hal ini harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan transparansi, memastikan kepentingan nasional tetap diutamakan," ujar Achmad.
Pemerintah Indonesia diharapkan merancang kebijakan yang jelas dan matang untuk mengelola risiko yang muncul. Diplomasi yang hati-hati juga diperlukan untuk menjaga independensi kebijakan luar negeri Indonesia.
"Kerja sama ini memang berpotensi membantu menyeimbangkan defisit neraca perdagangan migas Indonesia. Namun, perlu perencanaan yang matang dan komitmen kuat untuk menjaga prinsip independensi kebijakan luar negeri," ujar Achmad.