Kamis 02 Jan 2025 08:16 WIB

Mengapa Pemerintah tak Genjot Pajak dari Sektor Ini? Salah Satunya Pajak Orang Super Kaya

Pemerintah bisa mencari cara selain PPN untuk menggenjot penerimaan pajak.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Presiden Prabowo Subianto (kiri) berjabat tangan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) usai menyampaikan keterangan pers terkait kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (31/12/2024). Pemerintah resmi menaikkan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen untuk barang dan jasa mewah yang diberlakukan mulai 1 Januari 2025.
Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Presiden Prabowo Subianto (kiri) berjabat tangan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) usai menyampaikan keterangan pers terkait kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (31/12/2024). Pemerintah resmi menaikkan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen untuk barang dan jasa mewah yang diberlakukan mulai 1 Januari 2025.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira  menekankan pentingnya pemerintah untuk mencari cara lain dalam menggenjot penerimaan pajak. Pernyataan ini menanggapi kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen untuk barang mewah per 1 Januari 2025.

Ia pun memberikan beberapa saran strategis yang bisa diterapkan untuk meningkatkan pemasukan negara secara lebih signifikan dan berkelanjutan. Salah satu usulan Bhima adalah penerapan pajak kekayaan, yaitu pajak yang dikenakan atas total harta yang dimiliki oleh individu dengan kekayaan luar biasa.

Baca Juga

"Pajak ini akan dipungut sebesar 2 persen dari total harta orang super kaya, yang selama ini belum diterapkan di Indonesia. Estimasi penerimaan dari pajak kekayaan ini bisa mencapai Rp81,6 triliun jika diterapkan," ungkapnya kepada Republika, Rabu (1/1/2025).

Ia menambahkan, negara-negara maju seperti yang tergabung dalam OECD dan G20 sudah mendorong penerapan pajak kekayaan untuk memperbaiki sistem perpajakan yang lebih adil. Bhima juga merekomendasikan agar pemerintah segera menerapkan pajak karbon, yang sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

"Pajak karbon ini bisa langsung diterapkan pada sektor industri yang memiliki dampak besar terhadap lingkungan, seperti PLTU batubara. Hasil dari pajak karbon ini dapat digunakan untuk mendanai transisi ke energi terbarukan dan memberikan dorongan pada sektor energi yang ramah lingkungan," katanya.

Kebijakan ini juga akan menciptakan lapangan pekerjaan baru serta mengurangi polusi udara yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Selain itu, Bhima juga menyarankan untuk menaikkan pajak produksi batubara di luar royalti.

"Ini bisa memberikan tambahan penerimaan negara yang cukup besar, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara penghasil batubara terbesar di dunia," jelasnya.

Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada batubara dan mendorong penggunaan energi yang lebih bersih. Bhima juga mengingatkan pentingnya menutup kebocoran pajak di sektor sawit dan tambang yang selama ini menjadi sektor rentan terhadap penghindaran pajak.

"Pemerintah perlu lebih serius dalam menertibkan dan mengawasi sektor-sektor ini agar tidak ada lagi praktik-praktik penghindaran pajak yang merugikan negara," katanya.

Terakhir, Bhima mengingatkan agar pemerintah melakukan evaluasi terhadap insentif pajak yang tidak tepat sasaran. Salah satu contohnya adalah pemberian tax holiday untuk perusahaan smelter nikel yang mencatatkan laba besar.

"Perusahaan yang sudah sangat menguntungkan seharusnya tidak diberikan insentif pajak berlebihan, karena ini hanya akan mengurangi potensi penerimaan negara," tambahnya.

photo
Karikatur Opini Republika : Pajak Kita untuk (Kita) - (Republika/Daan Yahya)

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement