REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan akan tetap menjalankan kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Hal itu diungkapkan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Kemenkeu Parjiono dalam acara ‘Sarasehan 100 Ekonom Indonesia’ yang digelar Indef di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (2/12/2024).
“Kita masih dalam proses ke sana, artinya akan berlanjut,” kata Parjiono kepada para audiens dalam agenda tersebut.
Parjiono menyebut, meski tetap akan memberlakukan kebijakan tersebut, pemerintah juga memperhatikan kondisi daya beli masyarakat. Perhatian itu diwujudkan dengan adanya aturan pengecualian pada sektor-sektor tertentu yang terbebas dari kenaikan PPN.
“Tapi kalau kita lihat dari sisi khususnya menjaga daya beli masyarakat, di situ kan pengecualian atau exception sudah jelas untuk masyarakat miskin, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya. Jadi sejauh ini itu kan yang bergulir,” terangnya.
Lebih lanjut, Parjiono menekankan subsidi jarring pengaman tetap terus berjalan, untuk menopang kondisi melemahnya daya beli masyarakat.
“Kan daya beli menjadi salah satu prioritas, kita perkuat juga subsidi jaring pengaman. Kalau kita lihat bahwa insentif, misalnya perpajakan, kan yang lebih banyak menikmati kelas menengah dan ke atas,” ujar dia.
Sebelumnya diketahui, kebijakan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 menimbulkan banyak penolakan dari publik, baik masyarakat umum maupun pengusaha. Pasalnya, kebijakan nilai itu akan semakin memberatkan kondisi tertekannya daya beli masyarakat yang tengah lesu.
Belakangan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan sempat menyampaikan bahwa kebijakan kenaikan PPN jadi 12 persen hampir pasti diundur. Seiring dengan itu, pemerintah akan menyiapkan bantuan sosial (bansos) berupa subsidi listrik, sebagai upaya persiapan menyongsong kenaikan PPN nantinya. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani yang paling berwenang atas persoalan itu belum kembali bersuara untuk memastikan kejelasan dari kebijakan tersebut, setelah banyaknya keriuhan yang muncul.