Rabu 23 Oct 2024 21:32 WIB

Survei Inventure: Kelas Menengah Indonesia Dalam Krisis, Apa Solusinya?

Penurunan daya beli ini tidak merata di seluruh kelompok kelas menengah.

Rep: Dian Fath Risalah / Red: Friska Yolandha
Ilustrasi gedung perkantoran di Jakarta. Survei terbaru Inventure mengungkap 51 persen responden dari kelas menengah merasa daya beli mereka tetap stabil.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi gedung perkantoran di Jakarta. Survei terbaru Inventure mengungkap 51 persen responden dari kelas menengah merasa daya beli mereka tetap stabil.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi kelas menengah di Indonesia semakin memprihatinkan. Survei terbaru Inventure mengungkap 51 persen responden dari kelas menengah merasa daya beli mereka tetap stabil, sementara 49 persen lainnya melaporkan adanya penurunan yang signifikan.

Managing Partner Inventur Yuswohady mengatakan, penurunan daya beli ini tidak merata di seluruh kelompok kelas menengah. Bahkan, dari  49 persen yang merasakan penurunan, kelompok aspiring middle class adalah yang paling terdampak.

Baca Juga

“Sebanyak 67 persen dari mereka (responden kelas menengah) melaporkan penurunan daya beli, sementara di kelompok middle class, angka ini hanya 47 persen,” ujarnya dalam Press Conference Indonesia Industry Outlook 2025 yang bertema 'Kelas Menengah Hancur, Masihkah Bisnis Mantul?' yang diikuti secara daring, Selasa (22/10/2024).

Temuan ini menunjukkan kelas menengah bawah atau aspiring middle class menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mempertahankan daya beli mereka. Lebih lanjut Yuswohady menjelaskan ada tiga penyebab utama penurunan daya beli tersebut.

Pertama, kenaikan harga kebutuhan pokok yang mencakup 85 persen responden, kedua mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan sebesar 52 persen dan ketiga karena adanya  stagnasi pendapatan yang dialami oleh 45 persen responden. 

“Masyarakat kini lebih memilih untuk menunda pengeluaran besar, seperti membeli kendaraan, yang dipilih oleh 70 persen responden. Mereka merasa bahwa kondisi ekonomi yang kurang baik membuat investasi dalam barang-barang mahal menjadi berisiko,” jelasnya.

Fenomena ini juga beriringan dengan maraknya  gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di berbagai sektor, berimbas pada meningkatnya angka pengangguran dan lemahnya permintaan domestik. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia telah menurun hingga 10 juta orang dalam lima tahun terakhir. Hal ini semakin mempertegas posisi rentan kelas menengah yang merupakan motor penggerak perekonomian nasional. Oleh karenanya, perlunya perhatian serius dari pemerintah baru untuk memulihkan daya beli masyarakat.

“Kabinet baru di bawah Prabowo dan Gibran harus mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan pemulihan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,” tuturnya. 

Ekonom senior, Dr Aviliani, juga menyampaikan hal yang sama. Menurutnya, pemerintah baru harus fokus memberikan insentif kepada pelaku usaha, terutama UMKM, untuk menjaga daya beli masyarakat. 

“Ekonomi kita sangat bergantung pada sektor konsumsi; jika daya beli melemah, maka ekonomi akan bergejolak,” kata Aviliani.

Situasi ini juga mendesak pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan, tetapi juga pada kesejahteraan masyarakat. Dengan mempertimbangkan kondisi kelas menengah yang terus menurun, langkah-langkah strategis sangat diperlukan untuk menghindari gejolak yang lebih dalam di masa depan. 

Dian Fath Risalah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement