REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) mengatakan realisasi investasi sektor pengolahan menjadi produk bernilai tambah tinggi (hilirisasi), mengalami tren peningkatan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, yakni pada 2019-2023.
Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Riyatno mengatakan, pada tahun 2019 pihaknya mencatat realisasi investasi di sektor hilirisasi industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatan hanya sebesar Rp 61,6 triliun, namun pada 2020 meningkat menjadi Rp 94,8 triliun.
"Ini menunjukkan bahwa investasi di sektor realisasi ini terus meningkat," kata dia, Rabu (25/9/2024).
Selanjutnya pada tahun 2021, realisasi investasi di sektor hilirisasi tercatat sebesar Rp 117,5 triliun, meningkat kembali pada tahun 2022 menjadi Rp 171,2 triliun, serta pada tahun lalu melonjak menjadi Rp 200,3 triliun.
Menurut dia, peningkatan itu karena para investor melihat adanya potensi besar dalam pengembangan industri pengolahan di Tanah Air, mengingat cadangan bahan baku hilirisasi di RI cukup besar.
Seperti dijelaskan oleh Direktur Hilirisasi Perkebunan, Kelautan, Perikanan, dan Kehutanan Kementerian Investasi/BKPM Mohamad Faizal, yang menyebut bahwa Indonesia merupakan negara penghasil bahan baku yang banyak dibutuhkan untuk pengembangan industri dunia.
Menurut dia, Indonesia memiliki cadangan 21 persen nikel secara global, 16,3 persen cadangan timah dunia, 3 persen tembaga global, 4 persen bauksit, serta produsen kelapa sawit terbesar di dunia.
"Potensi nikel kita nomor satu di dunia, timah potensinya nomor dua di dunia, bauksit nomor enam, begitu pula dengan sawit. Sawit kita nomor satu di dunia, kelapa nomor satu, karet nomor dua, udang nomor tiga, ikan tuna, cakalang, dan tongkol nomor satu di dunia, serta rajungan nomor dua," ujarnya.