REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian BUMN berhasil menurunkan besaran utang perusahaan BUMN dalam tiga tahun terkahir. Beberapa waktu lalu, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan rasio utang terhadap ekuitas pun masih berada di posisi sehat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun mencatat porsi utang BUMN Karya kepada bank BUMN alias Himbara mencapai Rp 78,99 triliun hingga Desember 2023. Angka ini menurun 2,92 persen jika dibandingkan dengan periode Juni 2023 yang senilai Rp 88,16 triliun.
Perbaikan pun tampak nyata dari suntikan PMN yang kini dibiayai dari dividen yang disetorkan BUMN ke negara. Berbeda dari sebelumnya di mana suntikan PMN dibiayai dari utang luar negeri.
"Selama ini yang tadinya PMN itu sangat bergantung dari utang negara kepada luar negeri, tetapi hari ini kita bisa yakinkan bersama-sama ini menjadi sebuah sustainability atau keberlanjutan ketika dividen bisa membiayai PMN itu sendiri," ujar Erick saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR pada pertengahan Juli lalu.
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menyambut baik hal ini. "Sangat bagus ya, saya kira indikator-indikator BUMN itu banyak yang membaik, mulai dari keuangannya," ujar Piter kepada Republika, Senin (5/8/2024).
Namun, yang masih menjadi tantangan secara agregat adalah persoalan yang ada di setiap perusahaan BUMN. Menurutnya, setiap perusahaan memiliki persoalan yang berbeda satu sama lain
"Jadi kalau kita lihat secara agreatnya ya oke saja, memang bagus. Nah, yang sangat bagus menutup kinerja BUMN yang jelek secara keseluruhan dari rata-rata penggabungannya. Tapi kita tahu seperti BUMN konstruksi kan masih banyak yang memiliki masalah besar. Sehingga kondisi BUMN ini sebenarnya tidak bisa dilihat secara agregat dan harus dilihat secara individual perusahaan BUMN," terangnya.
Piter menambahkan, harus ada kehati-hatian dalam mengkritisi kinerja perusahaan BUMN yang buruk. Pasalnya, selalu ada alasan kuat bila perusahaan BUMN mencatatkan rapor merah.
"Menurut saya, tidak adil bila menghakimi 'BUMN Karya' (perusahaan konstruksi) karena, di satu sisi Pak Jokowi dipuji dengan pembangunan infrastruktur. Padahal yang capek kan BUMN Karya. Jadi harus adil di dalam hal ini. Jangan yang dapat nama hanya Pak Jokowi dan Kementerian PUPR tapi yang dapat getahnya di Kementerian BUMN. Padahal yang secara nyata membangun infrastruktur itu BUMN Karya,"ujar dia.
Piter menambahkan, kondisi Kementerian BUMN di Indonesia sangat berbeda dengan Kementerian BUMN di negara lain. Menurutnya, harus dipahami bahwa sebagian besar perusahaan BUMN di Indonesia menjalankan prinsip kerja ikhlas yang tidak mengambil keuntungan yang banyak.
"Jadi memang harus ada apresiasi tersendiri bagi Kementerian BUMN," tegas Piter.