REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tak hanya menjadi keputusan bisnis, melainkan juga politik. Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda memperkirakan kenaikan harga BBM bisa saja terjadi dalam waktu dekat yakni di masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) atau juga di pemerintahan berikutnya dengan presiden terpilih Prabowo Subianto.
"Saya rasa ini akan terjadi tarik menarik antara pemerintahan Jokowi dengan pemerintahan ke depan, siapa yang akan menaikkan harga BBM, terutama untuk BBM Pertalite," ujar Huda saat dihubungi Republika di Jakarta, Rabu (26/6/2024).
Huda mengingatkan nilai subsidi untuk BBM dalam APBN bakal melonjak seiring melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Huda menilai hal ini dapat menjadi acuan bagi pemerintah jika hendak menaikkan harga BBM saat ini.
"Dengan nilai tukar rupiah yang remuk saat ini, nilai subsidi BBM di APBN pasti akan meroket. Dengan adanya alasan nilai tukar, saya rasa bisa jadi akan dinaikkan pada 1 Juli," ucap Huda.
Huda menilai pemerintah harus berhitung secara cermat jika ingin menaikkan harga BBM dalam waktu dekat. Menurut Huda, pemerintah harus memiliki strategi dalam mengantisipasi dampak yang muncul akibat naiknya harga BBM.
"Jika kita melihat daya beli di masyarakat saat ini, saya rasa cukup berat bagi masyarakat jika harus membayar BBM lebih tinggi," lanjut Huda.
Sementara opsi menaikkan harga BBM di pemerintahan yang baru pun bukan tanpa tantangan. Selain tidak populis, Huda menyampaikan kenaikkan harga BBM pada masa pemerintahan berikutnya kian menambah beban masyarakat akibat adanya kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen.
"Jika dinaikkan tahun depan, maka akan berat juga karena ada rencana kenaikan tarif PPN dari 11 persen ke 12 persen. Maka akan ada tarik menarik siapa yang akan mengumumkan kenaikan harga BBM," kata Huda.