REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Sentral Jepang atau Bank of Japan (BoJ) menaikkan suku bunganya menjadi 0-0,1 persen dari sebelumnya minus 0,1 persen. Berkaitan dengan hal tersebut, Gubernur BI Perry Warjiyo menilai tidak ada dampak berarti kepada Indonesia.
"Kami tidak melihat kebijakan-kebijakan BoJ berpengaruh besar terhadap pergerakan inflow dan outflow maupun juga berkaitan dengan nilai tukar," kata Perry dalam konferensi pers RDG Bulanan BI Maret 2024, Rabu (20/3/2024).
Perry menjelaskan, pada akhirnya pergerakan nilai tukar berbagai negara ditentukan kekuatan nilai tukar dolar AS yang saat ini masih cukup kuat. Hal itu menurutnya juga yang membuat beberapa pekan terakhir memberikan peningkatan tekanan terhadap nilai tukar.
"Ini karena ketidakpastian keuangan pasar global masih tinggi dan juga dolar AS yang masih cukup kuat lah," ucap Perry.
Senada dengan Perry, Deputi Gubernur BI Destry Damayanti menegaskan juga tidak melihat dampak yang signifikan terhadap nilai tukar rupiah dari kebijakan BoJ tersebut. Destry menyebut hingga saat ini belum ada dampak khusus di pasar keuangan.
"Kami melihat di market tidak terasa ya dan dari AS sendiri yang memang trennya menguat," tutur Destry.
Destry mengungkapkan kenaikan dolar AS justru lebih dominan setelah Jepang menaikkan suku bunga. Lalu AS juga melonggarkan kebijakan dengan melepas limit untuk yield.
"Jadi terkait Jepang kami belum melihat dampak signifikan kepada rupiah," ujar Destry.
Sebelumnya, BoJ pada awal pekan ini menaikkan suku bunga acuannya setelah ditahan pada level ultra rendahnya selama delapan tahun terakhir. Kebijakan saat ini menjadi kenaikan pertama sejak 17 tahun terakhir.
Kebijakan tersebut membuat BoJ menjadi bank sentral terakhir yang keluar dari suku bunga negatif. Selain itu juga mengakhiri era para pengambil kebijakan di seluruh dunia yang berupaya menopang pertumbuhan melalui uang murah dan alat moneter yang tidak konvensional.