REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, perlambatan ekonomi atau resesi yang terjadi di Jepang saat ini bisa berpengaruh cukup besar bagi kinerja ekspor Indonesia. Ini karena Jepang mitra tradisional Indonesia dan sejumlah produk diekspor ke negara matahari terbit tersebut.
Bhima pun menyampaikan beberapa produk ekspor Indonesia yang mungkin terdampak di antaranya batu bara, komponen elektronik, nikel, perhiasan, kayu, karet hingga perikanan.
"Jadi ini adalah list barang-barang yang mungkin akan terdampak ya karena memang nilainya sangat besar dan kondisi domestik di Jepang juga semakin diperburuk oleh demografi yang semakin besar usia nonproduktif atau lansianya. Jadi berpengaruh ke konsumsi domestik," ujar Bhima kepada Republika, Sabtu (17/2/2024).
Bhima menjelaskan, produk ekspor batu bara Indonesia ke Jepang tercatat sebanyak 8,8 miliar dolar AS kemudian disusul komponen elektronik senilai 1,5 miliar dolar AS dan nikel dengan 1,2 miliar dolar AS. Kemudian perhiasan senilai 1,2 miliar dolar AS dari Indonesia serta barang-barang dari kayu dan turunannya senilai satu miliar dolar AS juga dikirim ke Jepang.
"Karet ya yang digunakan untuk otomotif itu satu miliar dolar AS dan perikanan ekspor ke Jepang itu 509 juta dolar AS," ujar Bhima.
Karena itu, Bhima menilai pemerintah perlu melakukan beberapa langkah untuk memitigasi dampak resesi terhadap ekspor Indonesia. Pertama, melakukan mitigasi dengan mengalihkan produk-produk yang diekspor ke Jepang, sebagian dialihkan ke pasar alternatif.
"Tentu ini membutuhkan intelijen pasar untuk membaca peluang dan fasilitasi pertemuan dengan calon buyer atau pembeli yang potensial di negara alternatif. Di sinilah peran dari atase perdagangan kedutaan besar menjadi penting," ujarnya.
Di sisi lain, Bhima menilai resesi Jepang juga memberikan peluang bagi Indonesia. Hal ini karena perlambatan ekonomi dalam negerinya, membuat Jepang lebih melihat potensi investasi di luar negeri salah satunya Indonesia.
Indonesia sebagai negara yang masih berkembang, prospeknya dinilai masih cukup bagus, sehingga akan membuat industri Jepang mungkin bisa lebih banyak lagi melakukan relokasi pabrik ke Indonesia atau menambah Capital Expenditure (Capex)atau belanja modal untuk perluasan pabrik termasuk elektronik dan otomotif.
Kondisi ini menurut Bhima harus direspons pemerintah dengan memberikan semacam insentif lebih besar lagi bagi para pelaku usaha yang bekerja sama dengan investasi Jepang terutama di sektor padat karya.
"Ini menjadi momentum tadi untuk meningkatkan relokasi industri dari Jepang ke Indonesia terutama di sektor elektronik mungkin terkait dengan pengembangan mobil hybrid dan mobil listrik, industri baterai dan perangkat elektronik serta sektor IT," ujarnya.