REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 atau Malari tepat setengah abad pada hari ini, Senin (15/1/2024). Penolakan mahasiswa terhadap penanaman modal asing (PMA) dari Jepang berujung kerusuhan. Lantas, bagaimana dengan kondisi investasi Jepang di Indonesia saat ini?
Jepang seperti diketahui merupakan salah satu negara produsen otomotif terbesar dunia. Sedangkan, Indonesia menjadi negara dengan pangsa pasar konsumen kendaraan yang besar.
Menilik laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), tingkat investasi Jepang di Indonesia dalam satu dekade terakhir relatif menurun. Dalam catatan BKPM, nilai investasi Jepang tercatat pernah mengalami titik tertinggi pada 2016 sebesar 5,4 miliar dolar AS, dan pernah mencapai 2,26 miliar dolar AS yang menjadi titik terendah investasi Jepang di Indonesia pada 2021.
Yang menarik, dalam rentang 2012-2022, total investasi Jepang mencapai 35.013 proyek investasi. Dalam periode tersebut, tercatat proyek investasi tertinggi terjadi pada 2020 sebanyak 8.817 proyek investasi.
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Jepang menyebut Jepang merupakan negara penanam modal asing terbesar keempat di Indonesia pada 2023 dengan total investasi sebesar 3,26 miliar dolar AS berdasarkan data realisasi investasi PMA per kuartal III 2023.
"Tiga provinsi dengan proyek investasi terbesar dari Jepang hingga kuartal III 2023 ialah Jawa Barat dengan 5.260 proyek, DKI Jakarta dengan 3.237 proyek, dan Jawa Timur dengan 1.012 proyek," tulis laporan KBRI Indonesia untuk Jepang.
Dalam laporan yang diterbitkan Institut Pertanian Bogor (IPB) bertajuk "Pengaruh penanaman modal asing (PMA) Jepang pada Sektor Industri Makanan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia" menyampaikan Indonesia sebagai negara berkembang memerlukan modal yang cukup besar untuk pembangunan sektor-sektor perekonomian demi mencapai pertumbuhan ekonomi. Dua jenis investasi yang dijadikan sumber modal adalah Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) serta Penanaman Modal Asing (PMA).
Sebelum terjadi krisis moneter, PMA merupakan sumber modal andalan bagi pembangunan ekonomi, bahkan hingga mencapai pertumbuhan ekonomi di atas tujuh persen per tahunnya. Sejak 1970, Jepang menjadikan Indonesia sebagai sasaran negara tujuan investasi utama sekaligus bertindak sebagai negara pemberi PMA terbesar di Indonesia.
"Berdasarkan data BKPM, persetujuan investasi Jepang di Indonesia pada 1967-2005 mencapai 39 miliar dolar AS atau 13 persen dari total akumulasi investasi asing di Indonesia, yaitu jumlah dan sumber PMA terbesar," tulis laporan tersebut.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf R Manilet mengatakan upaya pemerintah mendorong investasi asing tak lepas dari relatif rendahnya ukuran tabungan nasional. Yusuf mengatakan negara memerlukan tabungan nasional untuk membiayai beragam kebutuhan pembangunan.
"Sehingga dengan kebutuhan pembiayaan yang besar kemudian mendorong investasi asing di suatu negara," ujar Yusuf saat dihubungi Republika di Jakarta, Senin (15/1/2024).
Dalam konteks Indonesia, kasusnya pun sama, karena ukuran tabungan nasional relatif kecil makanya kita kemudia membutuhkan investasi asing. 50 tahun setelah kondisi Malari, ucap Yusuf, Indonesia masih berada dalam posisi yang masih membutuhkan investasi asing karena rasio tabungan yang relatif masih kecil.
Namun demikian, berbeda dari posisi 50 tahun yang lalu, sambung Yusuf, Indonesia telah mampu mendorong investasi untuk beragam kebutuhan pembangunan dan juga memanfaatkan investasi asing dalam konteks mendorong transfer teknologi. Yusuf mencontohkan investasi asing di sektor otomotif.
"Makanya, industri otomotif merupakan subsektor industri manufaktur yang perkembangannya cukup bagus setidaknya dalam dua dekade terakhir, saya kira ini salah satu faktornya karena proses investasi asing di sektor ini," ucap Yusuf.
Di luar aspek positifnya, Yusuf katakan, investasi asing juga masih meninggalkan pekerjaan rumah, terutama terkait dalam 10 tahun terakhir. Yusuf mengatakan persoalan investasi asing seharusnya mampu meningkatkan pembukaan lapangan kerja bagi masyarakat.
"Bagaimana kemudian investasi asing dalam menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang lebih besar dan juga masalah inklusivitas, terkait bagaimana investasi asing memenuhi segala aspek terkait keterlibatan masyarakat lokal dan diperhatikan aspek keberlanjutan," kata Yusuf.